Guru memiliki peran yang strategis dalam mencetak generasi penerus bangsa. Mutu pendidikan nasional salah satunya sangat ditentukan oleh kompetensi dan profesionalisme guru. Untuk meningkatkan kualitas tersebut, pada tahun 2007 sebagaimana dari amanat undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pemerintah indonesia menerapkan program sertifikasi guru.
Melalui sertifikasi, guru diharapkan memiliki kompetensi yang profesional dan berkepribadian sesuai standar nasional pendidikan. Namun, setelah berjalan lebih dari satu dekade, masih banyak pertanyaan muncul, Apakah sertifikasi guru benar-benar efektif meningkatkan mutu pendidikan nasional, ataukah hanya sebatas formalitas administratif?
Sertifikasi guru di Indonesia dijalankan sebagai bagian dari upaya profesionalisasi guru, untuk memastikan guru menguasai berbagai kompetensi: pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Tujuannya mencakup peningkatan mutu pembelajaran, peningkatan kesejahteraan guru (melalui tunjangan profesi), serta upaya pemerataan mutu pendidikan.
Dengan demikian, sertifikasi tidak hanya meningkatkan kualitas pengajaran, tetapi juga memperkuat posisi guru sebagai agen perubahan dalam sistem pendidikan. Sertifikasi dapat efektif meningkatkan kualitas pendidikan nasional bila diimplementasikan tidak sekadar sebagai syarat tunjangan, melainkan sebagai upaya transformasi profesionalisme guru menuju peningkatan mutu pembelajaran.
Implementasi sertifikasi guru di Indonesia telah berkembang secara signifikan dengan mekanisme yang lebih efisien, tunjangan lebih tepat waktu, dan akses administrasi digital yang makin baik. Namun, manfaatnya masih terbatas pada administrasi dan kesejahteraan, dengan dampak terhadap kualitas pembelajaran dan hasil siswa yang belum terbukti kuat.
Laporan lain menyebut bahwa sertifikasi tidak berdampak signifikan terhadap prestasi siswa. Sertifikasi tampak lebih berorientasi pada peningkatan kesejahteraan guru, bukan kinerja bahkan pada kualitas pendidikannya.
Menurut Research on Improving Systems of Education (RISE Programme), rata-rata nilai UKG (2015): Sekolah dasar: 40.14, SMP: 44.16, SMA: 45.38, sementara standar minimal saat itu adalah 55, kemudian dinaikkan menjadi 75. Survei RISE juga menyebutkan hanya 12,43 % guru SD merasa cukup menguasai literasi, dan 21,27 % merasa cukup menguasai numerasi.
Meskipun Indonesia memiliki jumlah guru yang cukup banyak diketahui bahwa rata-rata nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) pada tahun 2022 masih di bawah standar minimal yang ditetapkan, yakni 55, dengan rata-rata nasional mencapai 54,05. Berdasarkan data resmi yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia tahun 2022 hasil UKG tertinggi tercatat di Kota Yogyakarta dengan rata-rata sebesar 67,05, sementara kota lainnya yakni Maluku Utara memperoleh nilai rata-rata terendah, yaitu 44,51.
Dalam pengimplementasinnya juga masih terdapat beberapa permasalahan, pertama yaitu proses seleksi yang tidak berbasis kualitas. Sertifikasi guru merupakan salah satu langkah penting yang diambil untuk meningkatkan profesionalisme dan kualitas pengajaran di Indonesia. Meskipun tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, efektivitas program ini masih dipertanyakan.
Hal ini terjadi karena dalam pelaksanaan sertifikasi, sistem rekrutmen peserta tidak sepenuhnya didasarkan pada kualitas guru itu sendiri. Sebaliknya, kuota sertifikasi lebih mengutamakan prioritas-prioritas seperti usia, masa pengabdian, dan jabatan, yang mengarah pada kesenjangan dalam evaluasi kompetensi.
Akibatnya, meskipun ada guru yang lulus uji kompetensi, performa pengajaran mereka belum menunjukkan perubahan signifikan dalam peningkatan kualitas pendidikan.
Permasalahan selanjutnya yaitu keterbatasan dalam pembinaan pasca-sertifikasi. Pembinaan yang kurang intensif dan kurangnya kesempatan bagi guru untuk terus belajar dan berkembang membuat dampak dari sertifikasi tidak maksimal.
Contohnya seperti di daerah Papua, meskipun banyak guru yang telah berhasil lulus sertifikasi, mereka tetap menghadapi kesulitan dalam mengimplementasikan metode pengajaran yang lebih modern atau berbasis teknologi.
Guru-guru ini sering kali tidak mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau workshop lanjutan yang dapat meningkatkan keterampilan mereka dalam mengajar. Akses terhadap sumber daya pendidikan yang lebih baik, seperti modul pembelajaran berbasis teknologi atau workshop dengan pengajaran berbasis pada metode terbaru, sangat terbatas.
Permasalahan ketiga yaitu dampak efek terhadap hasil belajar. Walaupun ada penelitian yang menunjukkan pengaruh positif terhadap prestasi siswa, temuan itu tidak selalu konsisten di semua tingkatan dan semua wilayah, dikarenakan masih adanya ketidakseimbangan antar daerah misalnya pada daerah terpencil yang masih sering mengalami kesulitan dalam pelaksanaan sertifikasi, baik dari sisi akses, sumber daya manusia, maupun infrastruktur.
Beberapa sekolah / daerah menunjukkan bahwa prestasi siswa belum meningkat signifikan meskipun gurunya telah bersertifikasi.
Oleh karena itu, perlu adanya solusi yang dapat ditawarkan mulai dari menyediakan mentoring, workshop, observasi kelas, dan refleksi guru agar teori dari sertifikasi bisa diterapkan secara nyata. Kemudian fokus pada daerah-daerah tertinggal, menyediakan fasilitas dan dukungan tambahan agar sertifikasi tidak hanya untuk mereka yang mudah diakses, serta yang tidak kalah penting harus selalu melakukan monitoring dan evaluasi.
Kebijakan sertifikasi harus dievaluasi secara periodik untuk melihat dampaknya terhadap kinerja guru dan hasil belajar siswa, dengan data yang representatif. Jika ada ketidaksetaraan hasil, intervensi spesifik harus dilakukan.
Melihat pelaksanaan sertifikasi guru yang telah berjalan lebih dari satu dekade, dapat disimpulkan bahwa program ini belum sepenuhnya efektif dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional secara merata. Meskipun telah membawa dampak positif dalam hal kesejahteraan guru dan penataan administrasi, manfaatnya terhadap peningkatan kompetensi pengajaran dan hasil belajar siswa masih belum signifikan.
Ketimpangan pelaksanaan di berbagai daerah, proses seleksi yang kurang berbasis kualitas, serta minimnya pembinaan pasca-sertifikasi menjadi hambatan utama. Dengan demikian, kondisi saat ini menunjukkan bahwa sertifikasi guru belum mampu menjawab sepenuhnya tantangan kualitas pendidikan nasional.
Diperlukan perbaikan menyeluruh, mulai dari sistem seleksi yang lebih berorientasi pada kompetensi, pembinaan berkelanjutan, hingga pemerataan akses terhadap pelatihan dan sumber daya pendidikan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News