Kawan GNFI, sektor pertanian kembali mencatatkan prestasi membanggakan. Berdasarkan laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan I tahun 2025 mencapai 10,52 persen.
Angka ini jadi yang tertinggi dalam sejarah. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebut capaian tersebut sebagai bukti nyata bahwa kebijakan berpihak pada produksi nasional benar-benar berdampak pada ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Artinya, pertanian tidak lagi hanya soal sawah dan ladang, tapi juga tentang bagaimana mengubah hasil panen menjadi produk bernilai tinggi. Di sinilah agroindustri berperan. Agroindustri membuat petani bisa naik kelas dengan mengolah bahan mentah menjadi produk siap jual.
Contohnya bisa Kawan GNFI temui di pegunungan Bandung. Di sana, sekelompok anak muda membangun kembali kebun kopi keluarga mereka. Salah satunya Adi Santoso, lulusan desain komunikasi visual yang kini mengelola dua hektar kebun kopi di Pangalengan.
Bersama komunitas “Kopi Jabar Hebat”, ia dan rekan-rekannya mengembangkan berbagai metode pascapanen seperti honey process dan natural process.
Mereka juga memanfaatkan media sosial yang berperan sebagai etalase utama. Setiap unggahan menampilkan proses dari hulu ke hilir, lengkap dengan cerita petani dan keindahan kebun mereka.
“Kami ingin konsumen tahu bahwa setiap cangkir kopi punya cerita panjang,” kata Rina Amelia, sebagai pengelola pemasaran komunitas itu.
Pendekatan ini berhasil. Kopi mereka kini dijual tiga hingga empat kali lebih mahal dari harga biasa, bahkan sudah menembus pasar Australia. Dari desa di Priangan, kopi lokal kini membawa nama Indonesia ke dunia.
Kisah serupa juga datang dari Gunungkidul, Yogyakarta. Petani empon-empon di kawasan Kedungkeris kini menikmati hasil inovasi digital. Dulu mereka kesulitan memasarkan produk, tapi berkat pendampingan dosen Universitas Widya Mataram, Masrukan, mereka kini punya platform daring untuk menjual jamu, wedang instan, dan simplisa. Produk mereka bahkan mulai dikenal di pasar nasional.
Masrukan menjelaskan bahwa pemasaran digital membuat produk lokal punya daya saing tinggi. Petani tak lagi bergantung pada penjualan tradisional.
Mereka bisa menjangkau konsumen di luar daerah bahkan luar negeri. Pendampingan ini juga memastikan proses produksi sesuai standar keamanan dan kualitas pangan.
Dua contoh ini menunjukkan wajah baru pertanian Indonesia yang kreatif, inovatif, dan digital. Petani tak lagi sekadar menanam, tapi juga mengolah, mengemas, dan memasarkan. Mereka jadi produsen sekaligus pengusaha.
Pemerintah melihat tren ini sebagai arah masa depan ekonomi Indonesia. Dengan kontribusi besar terhadap PDB dan kemampuan menciptakan lapangan kerja, sektor pertanian kini menjadi tulang punggung ekonomi kreatif berbasis sumber daya alam.
Namun, tantangan tetap ada. Perubahan iklim, fluktuasi harga, dan keterbatasan akses modal masih jadi penghambat. Namun, semangat baru yang ditunjukkan petani muda seperti Adi dan para pelaku agroindustri lokal membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari desa.
Kawan GNFI, pertanian masa kini bukan lagi pekerjaan tradisional. Ini adalah ruang inovasi, bisnis, dan kebanggaan. Dari biji kopi hingga empon-empon, dari lahan kecil hingga ekspor global, semua dimulai dari keberanian untuk berpikir kreatif.
Dengan dukungan kebijakan yang tepat, akses teknologi, dan semangat generasi muda, pertanian Indonesia bisa menjadi fondasi ekonomi kreatif yang tangguh.
Pertanian bukan sekadar masa lalu Indonesia tetapi ia adalah masa depan yang sedang tumbuh. Dan siapa tahu, inspirasi berikutnya datang dari desa tempat Kawan GNFI tinggal.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News