Di balik perbukitan hijau Kecamatan Buah Dua, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, terdapat sebuah dusun kecil bernamaDusun Malandang. Masyarakat di dusun ini dikenal karena memegang teguh kearifan lokal yang langka—larangan mengucapkan kata “Salam”.
Sekilas terdengar sederhana, namun pantangan ini bukan sekadar takhayul. Ia adalah simbol penghormatan mendalam kepada leluhur pendiri kampung, Raden Agus Salam, tokoh yang membuka dan membangun wilayah ini sejak masa kerajaan Sumedang Larang.
Layaknya “benteng tradisi” di tengah arus modernisasi, masyarakat Malandang, dari generasi tua hingga muda, masih menjunjung tinggi etika dan unggah-ungguh Sunda dalam kehidupan sehari-hari.
Asal Usul Larangan Mengucapkan “Salam” di Dusun Malandang
Pantangan ini berakar pada sejarah panjang berdirinya Dusun Malandang. Di wilayah ini bersemayam makamRaden Agus Salam, sosok yang dihormati karena jasanya membuka lahan dan membangun pemukiman.
Menurut tokoh adat setempat, Komar, larangan mengucapkan “Salam” muncul dari rasa hormat terhadap nama sang pendiri. Dalam tradisi Sunda, menyebut langsung nama tokoh sepuh dianggap tidak sopan.
“Kan Salam itu nama orang tua kita, yang harus dihormati,” terang Komar.
Larangan itu kemudian diwariskan lintas generasi dan menjadi bagian sakral dari kehidupan warga. Pelanggaran terhadapnya dipercaya bisa mendatangkan musibah, seperti angin kencang, petir, atau pohon tumbang.
Selain kata “Salam”, masyarakat juga tidak boleh menyebut daun salam, bahan dapur yang umum di Indonesia. Sebagai gantinya, mereka menyebutnya daun kopo, demi menjaga kesakralan nama leluhur.
Raden Agus Salam dan Hubungannya dengan Kerajaan Sumedang Larang
Kisah Raden Agus Salam tak lepas dari masa kejayaan Kerajaan Sumedang Larang, penerus Pajajaran yang berdiri di Jawa Barat pada abad ke-16 hingga 17.
Raden Agus Salam, yang disebut masih memiliki darah bangsawan Sumedang Larang, dipercaya berperan penting saat Kerajaan Mataram Islam di bawah pimpinanSultan Agung Hanyokrokusumo mengirim pasukan ke Batavia pada abad ke-17.
Kala itu, wilayah Sumedang menjadi titik persinggahan pasukan Mataram. Raden Agus Salam dipercaya menyiapkan tempat peristirahatan dan jamuan bagi ribuan prajurit. Sikap hormat dan keramahan yang ia tunjukkan membuat Sultan Agung kagum dan memberikan kehormatan kepadanya.
Sejak saat itu, nama Raden Agus Salam disegani, bukan hanya di Sumedang, tetapi juga di kalangan bangsawan Mataram. Warisan moral dan keteladanan beliau masih hidup di Dusun Malandang hingga kini.
Kearifan Lokal dan Tradisi Ngikis di Dusun Malandang
Lebih dari sekadar larangan, kehidupan di Dusun Malandang diwarnai oleh tradisi Ngikis, yaitu kegiatan gotong royong membersihkan area makam leluhur dan menjaga kelestarian alam sekitar. Tradisi ini menjadi bentuk nyata rasa syukur dan penghormatan kepada alam serta para pendahulu.
Bagi masyarakat Malandang, menjaga kebersihan makam sama pentingnya dengan menjaga kehormatan leluhur. Inilah yang membuat dusun kecil ini dikenal sebagai salah satukampung adat di Sumedang yang masih aktif melestarikan nilai-nilai lama.
Selain itu, terdapat pamali (tabu) lain yang dipercaya harus dipatuhi. Salah satunya, jumlah kepala keluarga di dusun ini tidak boleh lebih dari40 KK. Jika jumlahnya melebihi batas, sebagian warga akan pindah ke daerah lain untuk menghindari hal buruk.
Nilai-nilai ini memiliki kemiripan dengan ajaran Sunda Wiwitan dan kearifan Suku Baduy di Kanekes, Lebak, yang juga menolak eksploitasi alam dan menjunjung kesederhanaan hidup. Menurut sesepuh Malandang, Aki Dako, hal ini adalah wujud dari “urang Sunda asli” yang menjadikan etika, alam, dan spiritualitas sebagai satu kesatuan.
Warisan Budaya yang Hidup di Tengah Zaman
Kini, Dusun Malandang tak hanya dikenal karena pantangan uniknya, tetapi juga karena daya tarik budayanya. Banyak peziarah datang ke makam Raden Agus Salam, baik untuk berdoa maupun sekadar menyaksikan kehidupan masyarakat adat yang masih lestari di tengah modernisasi.
Bagi para peneliti dan wisatawan budaya, Dusun Malandang adalah contoh nyata bagaimanaSumedang mempertahankan jati dirinya sebagai peuser budaya—pusat nilai-nilai kearifan lokal Sunda yang hidup hingga kini.
Kisah Raden Agus Salam dan tradisi pantangan “Salam” menjadi pengingat bahwa menghormati leluhur bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga tentang menjaga harmoni antara manusia, sejarah, dan alam.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News