Di tengah dunia yang bergerak cepat dan serba digital, tak banyak orang yang mau berhenti sejenak untuk menengok sisi lain dari kehidupan - tempat di mana luka fisik dan batin bersinggungan dengan harapan untuk sembuh. Di sebuah daerah tenang di Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali, sosok I Made Aditiasthana L menjadi salah satu dari sedikit orang yang memilih jalan berbeda: jalan penuh empati untuk merawat luka dan menyembuhkan asa pasien diabetes.
“Luka bisa sembuh, tapi kehilangan harapan adalah penyakit yang lebih berbahaya,” ucap Aditiasthana dalam sebuah wawancara.
Kalimat itu menjadi dasar dari seluruh langkah hidupnya - sebuah filosofi sederhana namun dalam, yang membentuk perjalanan pengabdiannya di bidang kesehatan.
Awal Mula: Dari Luka yang Membuka Kesadaran
Semua berawal dari kenyataan pahit yang sering ia saksikan: banyak pasien diabetes melitus di daerahnya harus kehilangan kaki karena luka yang tampak sepele di awal, tetapi berujung pada amputasi. Bukan karena mereka tak peduli, melainkan karena minimnya edukasi dan akses perawatan luka yang tepat.
Melihat kondisi itu, Aditiasthana sadar bahwa pengetahuan medis saja tidak cukup. Diperlukan pendekatan yang lebih manusiawi - yang tidak hanya menyentuh kulit, tapi juga hati. Maka lahirlah inisiatifnya untuk mendirikan Yayasan Kaki Kita Sukasada (YKKS), sebuah wadah yang kini menjadi rumah bagi ratusan pasien diabetes dan difabel di Bali Utara.
“Di yayasan ini, kami tidak hanya membalut luka. Kami membalut harapan mereka agar bisa melangkah lagi,” ujarnya.
Yayasan Kaki Kita Sukasada: Dari Botol Plastik Menjadi Kaki Palsu
YKKS bukan sekadar klinik atau pusat rehabilitasi. Ini adalah ruang kolaborasi antara kesehatan dan keberlanjutan lingkungan. Aditiasthana dan timnya menginisiasi program pembuatan kaki palsu dari bahan daur ulang, terutama botol plastik bekas. Dari sampah yang sering diabaikan, mereka menciptakan sesuatu yang memberi kehidupan baru bagi orang lain.
Gerakan ini kemudian dikenal dengan nama “Bring Back Our Bottles” - sebuah kampanye sosial yang mengajak masyarakat mengumpulkan botol plastik bekas untuk dijadikan bahan dasar kaki palsu. “Kami percaya, setiap botol yang kembali, berarti satu langkah kehidupan yang bisa dimulai lagi,” katanya.
Proyek ini bukan hanya memberikan solusi ramah lingkungan, tapi juga menjadi simbol transformasi - dari limbah menjadi manfaat, dari kehilangan menjadi harapan.
Kolaborasi dan Dukungan Sosial
Kiprah Aditiasthana tak berjalan sendiri. Programnya mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk Dinas Sosial Kabupaten Buleleng, yang kemudian menggandeng YKKS untuk memperluas layanan ke masyarakat yang membutuhkan. Melalui kolaborasi ini, semakin banyak pasien difabel dan penderita diabetes di wilayah utara Bali yang bisa mendapatkan akses ke perawatan luka profesional dan alat bantu gerak buatan lokal.
Selain itu, yayasan juga melibatkan masyarakat sekitar, mengedukasi mereka tentang perawatan luka, kebersihan kaki bagi penderita diabetes, dan cara mencegah amputasi. Edukasi ini dilakukan dengan metode sederhana namun efektif, agar bisa dipahami oleh masyarakat pedesaan.
SATU Indonesia Awards: Ketulusan yang Diakui
Dedikasi tanpa pamrih ini akhirnya mendapat pengakuan besar. I Made Aditiasthana terpilih sebagai penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards dari PT Astra International Tbk, baik di tingkat Provinsi Bali maupun tingkat Nasional. Penghargaan ini diberikan kepada anak muda Indonesia yang memberikan kontribusi nyata dalam lima bidang utama: kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi.
“Bagi saya, penghargaan ini bukan akhir, tapi awal dari tanggung jawab yang lebih besar,” kata Aditiasthana dengan rendah hati. “Karena setiap apresiasi berarti ada lebih banyak mata yang kini melihat, dan lebih banyak hati yang bisa kita gerakkan.”
Lebih dari Sekadar Kaki Palsu
Apa yang dilakukan Aditiasthana jauh melampaui pembuatan alat bantu. Di balik setiap prostetik yang dihasilkan YKKS, ada cerita manusia - kisah tentang seseorang yang kehilangan kaki tapi menemukan kembali kepercayaan diri; tentang seorang ayah yang bisa kembali bekerja; atau seorang ibu yang kini bisa berjalan mengantar anaknya ke sekolah.
YKKS juga membuka program pemberdayaan ekonomi bagi difabel dan pasien diabetes, mengajarkan mereka keterampilan membuat kerajinan dari limbah plastik seperti sapu, pot bunga, dan karya dekoratif. Dengan begitu, para penerima manfaat tidak hanya pulih secara fisik, tetapi juga mampu berdiri secara mandiri.
“Tujuan kami bukan membuat mereka bergantung pada bantuan, tapi mengajarkan bahwa mereka bisa membantu diri sendiri,” ujar Aditiasthana.
Di sinilah letak kekuatan sejati yayasan ini - empowerment through healing, memberdayakan melalui penyembuhan.
Kesehatan dan Lingkungan: Dua Sisi yang Tak Terpisahkan
Aditiasthana percaya bahwa kesehatan manusia tidak bisa dipisahkan dari kesehatan bumi. Maka, pendekatan yang digunakan YKKS selalu mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. Dari pengolahan limbah, pemilihan bahan, hingga cara edukasi masyarakat, semuanya diarahkan untuk membangun kesadaran ekologis.
“Kalau kita ingin menyembuhkan manusia, kita juga harus menyembuhkan lingkungan tempat mereka hidup,” katanya dalam salah satu forum inspiratif di Bali.
Semangat ini membuat YKKS dikenal bukan hanya di tingkat lokal, tapi juga menjadi contoh model integrasi kesehatan dan ekoliterasi sosial yang patut ditiru di berbagai daerah di Indonesia.
Dari Bali untuk Indonesia
Perjalanan Aditiasthana adalah contoh bahwa perubahan besar bisa dimulai dari tempat kecil. Dari Sukasada, semangatnya merambat ke seluruh penjuru Bali, bahkan menginspirasi komunitas serupa di luar pulau. Ia menunjukkan bahwa inovasi sosial tidak selalu butuh teknologi canggih, tapi cukup dengan niat tulus dan kemauan untuk bergerak.
Kini, program YKKS terus berkembang. Mereka tengah menyiapkan pelatihan bagi tenaga muda untuk menjadi perawat luka profesional, terutama di daerah terpencil. Dengan begitu, pengetahuan ini tidak berhenti di Bali, tetapi bisa menjadi warisan bagi Indonesia yang lebih sehat dan berdaya.
Menutup Luka, Membuka Harapan
Kisah I Made Aditiasthana adalah kisah tentang keberanian mencintai sesama di dunia yang sering sibuk mencintai diri sendiri. Ia mengingatkan kita bahwa penyembuhan bukan hanya proses medis, tapi juga proses kemanusiaan.
“Setiap luka punya cerita, dan setiap cerita layak untuk disembuhkan,” ujarnya suatu kali sambil tersenyum.
Dari kata-kata itu, kita belajar bahwa di balik setiap perban yang dibalut, ada doa yang tulus. Dan dari tangan-tangan yang bekerja di bawah sinar matahari Bali, lahir harapan baru - bahwa tak ada luka yang terlalu dalam untuk disembuhkan, selama masih ada hati yang peduli.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News