"Buku adalah jendela dunia"
Sejak lama, ungkapan klasik ini menjadi satu gambaran sederhana, tentang seberapa penting peran buku. Dalam perkembangannya, meski teknologi digital berkembang pesat, buku (dalam hal ini buku fisik) masih berperan penting, setidaknya dalam membangun budaya membaca dan literasi sejak dini.
Di Indonesia, khususnya di wilayah dengan akses teknologi dan buku bacaan relatif terbatas seperti area pedalaman Papua, buku masih menjadi sesuatu yang sulit dijangkau. Di sinilah "Hano Wene" hadir membawa kabar baik lewat literasi. Satu hal yang sepintas sederhana, tapi sangat berguna.
Nama Hano Wene sendiri berasal dari dua kosakata bahasa lokal di distrik Tangma, kabupaten Yahukimo, provinsi Papua Pegunungan, yakni hano dan wene. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, "Hano Wene" bermakna :berita baik".
Nama ini menjadi semangat yang berusaha dihidupi oleh pendirinya. Semangat ini lalu berkembang menjadi tujuan dasar. Literasi adalah berita baik yang perlu menjangkau sampai ke wilayah pelosok, sekalipun ada banyak tantangan menuju ke sana.
Gerakan yang dirintis Neas Wanimbo, dan kawan-kawan ini berawal dari keprihatinan, terkait minimnya akses bacaan untuk anak-anak di pedalaman. Dari sini, Hano Wene mulai mengumpulkan buku, mendirikan taman baca, dan membagikan buku ke sekolah-sekolah terpencil.
Sejak dirintis tahun 2017 silam, Hano Wene telah menghadirkan puluhan taman baca di Papua, Papua Barat, hingga Maluku. Hasilnya, anak-anak mulai terbiasa membaca, dari bacaan ringan seperti cerita rakyat, sampai bacaan yang lebih berat, seperti buku pelajaran.
Lebih dari itu, Hano Wene juga aktif mendukung guru pedalaman dengan memberi alat tulis, pakaian, dan pelatihan rutin. Mereka juga aktif berkolaborasi dengan warga setempat lewat kegiatan berbasis komunitas, seperti membuat peta risiko banjir.
Bisa dibilang, dari proses yang sejauh ini berjalan, Hano Wene mampu berkembang cukup pesat. Selain dari cakupan wilayah yang cukup luas, mereka juga mampu memperluas dimensi sudut pandang literasi.
Dalam artian, literasi yang diperjuangkan tak berhenti pada titik "bisa membaca huruf dan angka", tapi terus melangkah ke tahap "bisa membaca dinamika alam dan kehidupan di masyarakat". Otomatis, dimensi manfaat positif yang hadir pun menjadi lebih luas.
Perjalanan Hano Wene awalnya tak mudah. Ada beragam tantangan seperti kendala akses ke lokasi, keterbatasan dana, sampai usaha lebih dalam memilah buku yang sesuai dengan konteks budaya setempat dan target pembaca.
Meski begitu, perjuangan ini layak dan sepadan, karena ada kabar baik yang ingin dibagikan. Semangat inilah yang membantu mereka terus bertahan, bahkan berkembang, dengan dukungan dan kolaborasi lintas batas, antara lain bersama tokoh adat, masyarakat, guru, dan donatur.
Untuk perkembangan lebih jauh di masa depan, Hano Wene berencana memperluas jangkauan wilayah, dan menghadirkan lebih banyak buku bacaan yang sesuai dengan konteks budaya Papua. Dengan demikian, lewat literasi, anak-anak Papua bisa mengenali cerita seputar tempat asal mereka, dan memahami bahasa lokal mereka sendiri. Alhasil, literasi bukan sebatas alat bantu mempersiapkan masa depan, tetapi juga menjadi satu cara menjaga identitas, supaya tidak lupa akar.
Seperti arti nama dan perjalanan mereka sejauh ini, Hano Wene telah menjadi satu “berita baik” dari sisi timur Nusantara. Lewat buku dan taman bacaan, mereka menghadirkan harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Di era serba digital ini, buku mungkin terlihat sederhana, bahkan cenderung kuno, dan kadang dianggap remeh. Meski begitu, inilah satu titik awal menuju sesuatu yang jauh lebih besar di masa depan. Jangan lupa, hal-hal besar selalu dimulai dari yang kecil.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News