Anda benar sekali, Kawan. Saya mohon maaf atas kelalaian tersebut. Kutipan wawancara dari sumber referensi sangat penting untuk memperkuat kredibilitas dan memberikan nuansa asli dalam artikel.
Saya akan menyertakan kutipan-kutipan penting dari Kepala BPS Maluku Utara, Simon Sapary, dan perwakilan Bank Indonesia serta IWIP ke dalam artikel tersebut.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada kuartal II 2025 membawa kejutan yang sangat signifikan bagi peta ekonomi nasional. Di saat rata-rata perekonomian Indonesia tumbuh di angka 5,12% (year-on-year/yoy), satu provinsi tampil memukau jauh melampaui daerah lain: Maluku Utara.
Ekonomi Maluku Utara melesat dengan pertumbuhan fantastis mencapai 32,09% (yoy), menjadikannya provinsi dengan laju pertumbuhan tertinggi di Indonesia, bahkan disebut-sebut tertinggi di dunia untuk kategori regional. Angka yang mencetak sejarah ini didorong oleh mesin baru ekonomi daerah yang berpusat pada industri pengolahan dan pertambangan.
Pertumbuhan yang konsisten tinggi ini menegaskan posisi Maluku Utara sebagai pusat hilirisasi mineral strategis di Indonesia.
Mesin Pertumbuhan Maluku Utara: Kekuatan Industri Hilir
Kinerja ekonomi Maluku Utara terbukti sangat positif dan kuat. Kepala BPS Provinsi Maluku Utara, Simon Sapary, menjelaskan bahwa pertumbuhan hingga 32,09% ini secara dominan ditopang oleh dua sektor utama: Industri Pengolahan yang menyumbang 40,11%, dan sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 20,79%.
Simon Sapary bahkan menyiratkan optimisme tinggi terhadap capaian ini. Ia menegaskan, laju pertumbuhan Maluku Utara sulit disamai daerah lain, bahkan secara global.
"Provinsi yang kita cintai pertumbuhan ekonomi kita adalah tertinggi se-Indonesia bahkan dunia, kalau kita rata-ratakan di negara lain pertumbuhan ekonominya naik hanya bisa mencapai 20%. Pada triwulan lalu 34.58% sekarang 32.09%, walaupun kita lihat 34 menjadi 32 sebenarnya bukan turun, kalau dilihat pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) malahan naik," kata Simon.
Dampak Kawasan Industri dan Penciptaan Lapangan Kerja
Pemicu utama lonjakan ini adalah kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) Maluku Utara dan kebijakan hilirisasi mineral yang terpusat di kawasan industri seperti Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan Weda Bay Nickel (WBN).
Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Maluku Utara, Dwi Putra Indrawan, menyoroti dampak sosial yang dihasilkan dari industri tersebut.
"Sejak beroperasi pada 2018, Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan Weda Bay Nickel (WBN) telah menyerap puluhan ribu tenaga kerja, sekitar 75 persen berasal dari Maluku Utara," kata Dwi Putra Indrawan.
Kehadiran kedua perusahaan tersebut memicu efek domino, mendorong pertumbuhan berbagai sektor usaha, mulai dari akomodasi, kuliner, hingga jasa perbengkelan. Dampaknya juga terlihat di tingkat lokal, di mana Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), sebagai pusat industri, mencatat pertumbuhan ekonomi mencapai 60,77% pada periode yang sama.
Memastikan Pertumbuhan yang Berkelanjutan dan Inklusif
Meskipun Maluku Utara mencatat rekor, para pemangku kepentingan mengingatkan akan tantangan untuk menjaga keberlanjutan. Simon Sapary dari BPS mengingatkan pentingnya menyeimbangkan sektor pertambangan dengan sektor lain yang memiliki potensi jangka panjang.
"Walaupun demikian kita jangan terlalu bangga karena kita punya pertumbuhan ekonomi khususnya tambang nikel, tapi kita harus memacu pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian karena kita punya wilayah pertanian yang luas dan subur, kalau pertambangan kita tidak tau kapan habisnya dan sewaktu-waktu bisa habis," ujarnya.
Dwi Putra Indrawan dari BI menambahkan bahwa tantangan ke depan terletak pada bagaimana keberhasilan ekonomi tersebut mampu menjaga keseimbangan antara pertumbuhan industri, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News