Tahun 2024, timbulan sampah nasional tembus 33,8 juta ton. 59,9 persen atau sekitar 20,2 juta ton di antaranya merupakan sampah terkelola. Sementara itu, 40,1 persen atau 13,6 juta ton sisanya adalah sampah yang tidak terkelola dan berpotensi mencemari lingkungan.
Melihat hal ini, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyiapkan program Pengelolaan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL). Program PSEL akan segera dibangun di 33 kota di seluruh Indonesia.
PSEL bukan hanya diharapkan untuk bisa menghasilkan listrik hijau, tetapi juga membuka ribuan lapangan kerja hijau bagi masyarakat. Rencana tersebut ditargetkan untuk dapat segera beroperasi dalam dua tahun ke depan.
Di sisi lain, pemerintah juga menambah porsi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034. Target kapasitas listrik terpasang dari PLTSa berdasarkan RUPTL itu adalah 452,7 Megawatt.
Pakar Teknik Bioproses Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Wiratni, S.T. M.T., Ph.D., menilai keberhasilan proyek ini bergantung pada kesiapan teknis dan perubahan perilaku masyarakat sebagai penghasil sampah. Ada berbagai strategi yang harus diperhatikan untuk mendukung pengelolaan sampah yang baik.
Perlu Ada Pengelolaan yang Baik
Menyadur dari keterangan resminya, Wiratni mengatakan jika proyek PLTSa akan menjadi proyek yang optimal apabila disertai dengan pemilahan sampah yang baik. Ia menilai, sampah yang masuk ke fasilitas pengolahan sebaiknya merupakan sampah kering agar efisiensi termal terjaga dan peralatan tidak lekas rusak.
“Jika sampah masih bercampur antara organik dan anorganik, proses akan merugi dan investasi berisiko sia-sia. PLTSa memang bisa dilengkapi dengan alat pengering, tetapi hal itu meningkatkan biaya operasional sekaligus menimbulkan bau yang mengganggu,” jelasnya dalam ugm.ac.id.
Namun, Wiratni juga menyarankan agar PLTSa tidak dijadikan satu-satunya opsi untuk mengelola sampah. Hal ini dikarenakan akar masalah sesungguhnya justru berasal dari manusia yang banyak menghasilkan sampah.
Menurutnya, filosofi PLTSa juga sangat bagus, utamanya dalam konteks energi terbarukan. Namun, jika dilihat dari segi ekonomi, proyek ini tidak bisa bersaing dengan listrik konvensional. Oleh karena itu, harus ada strategi pemanfaatan listrik yang lebih inovatif.
Wiratni berpendapat, penjualan listrik ke PLN tidak cukup menjamin kelayakan ekonomi proyek. Perhitungan ekonomi PLTSa juga harus melibatkan tipping fee atau biaya pembuangan sampah di fasilitas pengelolaan sampah yang realistis.
Tak ketinggalan, ia menekankan perlunya menyamakan persepsi masyarakat tentang pengelolaan sampah yang merupakan industri jasa, bukan sekadar pelayanan. Dengan demikian, masyarakat selaku penghasil sampah akan memiliki rasa tanggung jawab untuk mengurangi kuantitas sampah.
Minta Sampah Organik untuk Diolah di Dekat Tempat Asalnya
Menyoal sampah organik, Wiratni merekomendasikan pengolahannya dilakukan secara desentralisasi di level rumah tangga atau komunal lokasi yang tak jauh dari sumbernya. Pengolahannya pun bisa dilakukan melalui skala kecil, seperti komposting atau maggot.
Sampah organik basah juga tidak direkomendasikan untuk dipakai sebagai bahan baku energi terbarukan, karena proses pengangkutannya masih berpotensi menyebabkan bau dan masalah kesehatan.
Harus Ada Pemetaan Sumber Sampah
Lebih lanjut, PLTSa disebut Wiratni tetap memiliki risiko dan dampak pada lingkungan, utamanya dari emisi gas hasil pembakaran dan residu abu yang berpotensi mengandung senyawa berbahaya. Akan tetapi, ia menjelaskan jika risiko tersebut dapat diminimalisir dengan penggunaan teknologi yang tepat.
“Sudah banyak rambu-rambu untuk mencegah dampak negatif ini, misalnya mengacu pada ketentuan Kementerian Lingkungan Hidup tentang ambang batas kandungan senyawa-senyawa tersebut, memasang peralatan yang tepat, dan juga alat-alat ukur untuk monitoring,” jelasnya.
Wiratni merekomendasikan pemberlakukan mekanisme insentif dan disinsentif agar masyarakat terdorong untuk memilah dan mengurangi sampah. Tak ketinggalan, ia meminta pemerintah untuk memetakan sumber sampah dan ekosistem off-taker yang sudah ada, seperti bank sampah atau pelaku usaha daur ulang.
“Dengan pemetaan itu, kapasitas PLTSa bisa difokuskan hanya pada sampah residu yang benar-benar tidak dapat diolah. Perhitungan keekonomian jangan hanya mengandalkan penjualan listrik ke PLN, tetapi harus disertai mekanisme tipping fee sebagai disinsentif. Jangan sampai PLTSa justru membutuhkan lebih banyak sampah, karena arah kita seharusnya menuju zero waste dengan ekosistem ekonomi sirkuler,” pungkasnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News