tren foodstagram sebagai bentuk self presentation antara makan atau eksis - News | Good News From Indonesia 2025

Tren Foodstagram sebagai Bentuk Self-Presentation, antara Makan atau Eksis?

Tren Foodstagram sebagai Bentuk Self-Presentation, antara Makan atau Eksis?
images info

Tren Foodstagram sebagai Bentuk Self-Presentation, antara Makan atau Eksis?


Pernahkah kawan menahan lapar sejenak demi memastikan bahwa angle makanan tampak estetik saat dibidik kamera? Atau berapa kali kawan rela membuat orang lain menunggu hanya karena lighting kafe belum pas untuk memotret makanan?

Tenang, kawan tidak sendiri, beberapa orang juga pasti pernah melakukan hal yang sama. Kebiasaan memotret makanan sebelum dimakan sudah menjadi pemandangan sehari-hari yang tidak bisa dihindari. Bukan hanya sekadar rutinitas, melainkan bagian dari cara seseorang membentuk citra diri di ruang digital.

Makanan tidak langsung disantap, tetapi lebih dahulu “dihidangkan” ke media sosial. Dari seblak jeletet yang banjir kuah cabai, latte art yang sempurna, hingga dessert kekinian, semua bisa menjadi konten yang instagrammable. Seperti itulah dunia foodstagrammer.

Fakta Tren Foodstagram sebagai Bentuk Self-Presentation

Foodstagram—tren mendokumentasikan makanan dan mengunggahnya ke media sosial—bukan hanya perihal “apa yang kamu makan” tetapi “bagaimana dunia melihatmu memakannya.”

  1. Panggung Self-Presentation di Era Digital

Menurut laporan Digital 2024: Indonesia yang diunggah dalam laman datareportal.com, tercatat bahwa pengguna aktif Instagram hampir melebihi 100 juta jiwa. Kemudian, melansir dari laman suara.com, survei yang dilakukan Invinyx dan Jakpat pada tahun 2024 menunjukkan bahwa konten kuliner menjadi salah satu kategori unggahan yang paling diminati di media sosial khususnya Instagram dengan persentase 84%.

Angka tersebut menunjukkan bahwa makanan bukan hanya soal rasa, tetapi juga bagian dari gaya hidup di dunia digital. Lebih dari sekadar tren musiman; ia justru membuka ruang untuk memahami bagaimana seseorang membentuk citra diri di hadapan audiens digital melalui praktik foodstagram.

Lewat aksi kecil tersebut, ada sisi psikologis yang menarik untuk ditelisik lebih jauh. Dalam kacamata psikologi sosial, mengunggah foto makanan ternyata bisa dilihat sebagai bentuk self-presentation, dimana seseorang berusaha untuk menampilkan diri di hadapan orang lain dengan cara tertentu agar dipandang sesuai dengan harapan (Goffman, 1956).

Erving Goffman (1959) dalam The Presentation of Self in Everyday Life mengibaratkan kehidupan sosial layaknya panggung teater, setiap orang merupakan aktor yang berusaha untuk membentuk kesan di hadapan audiens.

Dalam konteks sosial media, audiens adalah para followers kawan GNFI. Di sinilah makanan berfungsi sebagai properti dari panggung media sosial. Ia ikut andil dalam memperkuat peran yang dimainkan oleh seseorang. Dengan kata lain, makanan tidak hanya dimakan, tetapi juga dipentaskan sebagai bagian dari citra diri yang tengah dibangun.

  1. Dua Ruang, Dua Strategi

Instagram juga memberi ruang ganda untuk menampilkan diri. Ada feed yang abadi, seperti etalase diri yang harus rapi dan estetik. Ada juga snapgram atau instastory, hidupnya memang hanya 24 jam, tetapi justru menjadi arena yang paling riuh untuk pamer atau curhat colongan.

Feed pada umumnya berisi tentang unggahan yang sudah melewati pertimbangan panjang—dipikirkan, diedit, dan diberikan caption menarik. Feed itu ibarat album hidup digital. Makanya, tidak heran jika foto makanan yang diunggah di feed seringkali terlihat “niat banget”, mulai dari komposisi, lighting, bahkan angle-nya bisa dicoba berkali-kali.

Sementara konten yang diunggah di snapgram atau instastory lebih instan, ringan, dan terkadang receh. Momen jajan ceker mercon di trotoar atau beli kopi satu liter untuk kerja kelompok biasanya lebih sering muncul di instastory.

Perbedaan ini membuat seseorang memiliki dua cara yang berbeda dalam mengatur kesan. Feed memperlihatkan diri yang ideal dengan kurasi penuh, sedangkan story menampilkan sisi diri yang lebih cair, santai, dan real-time. Menariknya, kedua ruang ini saling melengkapi. Kombinasi keduanya membuat self-presentation di media sosial semakin kompleks.

  1. Drama di Balik Layar

Meski terlihat alami, tetap ada drama tersembunyi di balik setiap unggahan yang akhirnya rilis. Ada orang yang memotret satu makanan dari berbagai angle, memilih filter sesuai dengan tone, merevisi caption berulang kali, bahkan menunda makan demi mendapat lighting foto yang sempurna.

Proses ini merefleksikan bagaimana self-presentation bekerja: seseorang memiliki usaha sadar untuk menampilkan kesan tertentu meskipun yang muncul di layar seakan tampak natural. Sepiring gado-gado yang sederhana bisa terlihat lebih “wah” setelah dipoles dengan filter yang menawan dan caption yang kreatif.

Pada akhirnya, foodstagram menjadi cara seseorang untuk menunjukkan siapa dirinya. Orang yang sering posting makanan sehat akan terlihat peduli dengan kesehatan. Orang yang rajin hunting kuliner super pedas akan terlihat pemberani. Sementara orang yang sering pamer dessert cantik bisa dianggap sebagai pribadi yang estetik.Self-presentation memungkinkan seluruh narasi ini terbentuk meskipun hanya berangkat dari satu foto makanan saja.

Meskipun terlihat sederhana, foodstagram benar-benar menjadi refleksi nyata dari self-presentation seseorang. Setiap unggahan makanan di media sosial menjadi bagian dari strategi untuk mengatur kesan, baik yang ditampilkan di feed maupun story.

Fenomena ini menunjukkan bahwa makan di era digital bukan hanya sekadar mengisi perut, tetapi bertransformasi menjadi sarana untuk mengkomunikasikan siapa kawan, bagaimana kawan ingin dilihat, dan kesan apa yang kawan tinggalkan.

Setiap foto merupakan bagian dari citra diri. Setiap caption merupakan naskah. Setiap makanan merupakan properti di panggung media sosial. Maka, saat ini pertanyaan yang muncul tidak lagi “sudah makan apa hari ini?” tetapi juga “sudah tampil sebagai siapa lewat makanan yang kamu posting?”

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AS
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.