Belajar di tengah hamparan indahnya alam memang sangat indah. Sekolah-sekolah di Indonesia, notabene di kota padat penduduk dan besar, sudah banyak yang mengusung konsep ini. Namun, bagi generasi muda suku Wano, yang luar biasa adalah ketika mereka mampu mengenyam pendidikan, belajar baca tulis, dan (semestinya) mengenal bahasa Indonesia, bahasa ibu negeri tercinta.
Di antara hutan lebat dan terjalnya pegunungan di distrik Lumo, Kabupaten Puncak, berdiri sosok Andi Imannuel Rumbrar, asal Biak Numfor. Ia telah mengabdikan dirinya selama 7 tahun di pedalaman Papua sebagai guru. Mengajar anak-anak suku Wano yang kala ia tiba pertama kali, mereka hampir tidak mengenal huruf, angka, atau bahasa Indonesia.
Sebagai informasi, suku Wano tinggal di pedalaman yang paling terpencil di tanah Papua. Mereka adalah suku kecil yang berdiam di gunung-gunung tinggi. Untuk mengakses suku tersebut pun sangat sulit, sebab tidak bisa dicapai dengan jalanan darat dan perlu menggunakan pesawat kecil dengan muatan tertentu.
Perjalanan Andi sendiri ke lokasi juga tidak mudah. Ia harus terbang dari Biak ke Jayapura, lalu meneruskan penerbangan kecil selama beberapa ke pedalaman. Belum lagi, pendaratannya ada di lapangan darurat yang masih berbatu terjal.
Dirinya meninggalkan kenyamanannya yang tinggal di kota, dengan fasilitas umum yang dekat dan lengkap. Beradaptasi dengan berbagai keterbatasan yang ada, termasuk untuk mendapatkan air dan tidak adanya akses internet serta fasilitas kesehatan.
“Kalau saya bisa mendapatkan pendidikan yang baik, saya bisa sekolah dengan baik, saya harus kembali ke Papua untuk membantu saya punya adik-adik. Karena saya tahu, kami masih kurang banyak sekali. Kami harus akui itu,” sebut peraih beasiswa pendidikan di Universitas Pelita Harapan tersebut dalam sesi wawancara oleh Business Lounge.
Andi tahu kehidupan barunya ini tidak akan mudah. Bagaikan membabat hutan yang masih polos, ia memulai pelajarannya dari dasar, memperkenalkan sapaan, huruf, angka, bahkan mengenalkan peta Indonesia. Perlahan, anak-anak yang awalnya menatapnya seperti “makhluk asing” mulai memahami, bisa dan paham berbahasa Indonesia, dan punya gambaran tentang dunia luar.
Bagi Andi Rumbrar, menjadi guru bukan sekadar mentransfer materi pelajaran. Ia diketahui juga ikut berburu dengan pria kampung, membantu ibu-ibu menanam, serta mencatat kosakata bahasa Wano dalam buku catatannya. Memang dalam kesehariannya, suku Wano mengandalkan berburu dan bertani untuk memenuhi kebutuhannya. Sebab, di sana tidak ada pasar ataupun toko.
Selain itu, Andi harus membaur agar hubungan antarbudaya menguat dan pendidikan tidak hanya dianggap sebagai hal asing oleh masyarakat sekitar.
Berkat kegigihannya menjadi pelita bagi anak-anak suku Wano, pada tahun 2024, Andi masuk sebagai finalis kategori Pendidikan pada “15th SATU Indonesia Awards”.
Kini, anak suku Wano dari pedalaman Lumo tak hanya mendapatkan pendidikan (meski akan terus diperjuangkan), tetapi mereka juga mulai mempunyai cita-cita.
Lebih jauh, kisah Andi melahirkan berbagai pertanyaan renungan, bagaimana negara dan masyarakat dapat mendukung lebih banyak guru sepertinya? Bagaimana memperluas akses pendidikan bermutu ke daerah-daerah yang selama ini tertinggal?
Diakuinya Andi Rumbrar dalam anugerah SATU Indonesia Awards diharapkan akan membuka lebih banyak perhatian masyarakat Indonesia tentang kesetaraan pendidikan bagi anak-anak bangsa dan pemerataan pemenuhan fasilitas umum.
Dari landasan terpencil di Papua, ia menunjukan bahwa cahaya ilmu bisa menyala jika ada seseorang yang mau berjalan melewati rintangan untuk menyalakannya.
#kabarbaiksatuIndonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News