CERITA KOTA | Di banyak tempat, kisah perempuan kerap diwarnai eksploitasi dan kekerasan. Namun, lain halnya dengan perempuan suku Dayak Iban di Kalimantan Barat. Di Kapuas Hulu, mereka justru hadir sebagai poros budaya—dihormati, diapresiasi, dan menjadi penjaga identitas lewat helai-helai tenun.
Bagi Dayak Iban, menenun bukan sekadar kerajinan. Ia adalah bahasa budaya, simbol spiritual, dan kebanggaan yang diwariskan lintas generasi. Dikutip dari Kompas.com, pua kumbu—kain tenun khas mereka—merupakan penanda siapa mereka, peneguh jati diri yang lahir dari kesabaran, ketekunan, dan dedikasi perempuan Iban dalam merawat warisan leluhur.
Sejak remaja, para perempuan Iban dibekali bukan hanya keterampilan menenun, tetapi juga pemahaman atas nilai budaya yang tersembunyi di balik tiap motif. Mereka belajar membaca sejarah kampung, menjaga harmoni dengan alam, hingga memahami doa-doa yang teranyam dalam benang. Setiap prosesnya sarat makna: memilih benang, meracik pewarna alami dari dedaunan hutan adat, hingga merangkai pola yang dipercaya sebagai doa dan harapan.
Lebih dari itu, menenun juga memberi ruang ekonomi. Perempuan Iban tidak hanya menjual kain, tapi juga menjual cerita, proses alami, dan filosofi yang melekat. Dari situlah lahir kekuatan: mereka tetap berakar di tanah sendiri, tidak tergoda untuk pergi menjadi tenaga kerja di luar negeri. Menenun menjaga mereka tetap tinggal, tetap menjaga kesinambungan tradisi yang sudah berabad-abad ada.
Perempuan Dayak Iban adalah sejarawan yang menulis dengan benang. Sama pentingnya dengan nama-nama besar seperti R.A. Kartini atau Dewi Sartika, mereka pun menorehkan peran: melestarikan budaya, menopang ekonomi keluarga, dan menuntun generasi agar tak melupakan akar.
Baca Selengkapnya