Di antara lalu lalang kapal yang melintas mencari nafkah di lautan kepulauan itu, ada sebuah kapal lain yang membawa misi berbeda. Alih-alih berlayar menjaring ikan, kapal tersebut mengantarkan relawan muda untuk menjaring mimpi-mimpi anak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) yang selama ini belum tersentuh. Kapal itu membawa laptop, buku bacaan, dan semangat mengabdi dan berbagi dari para relawan, yang selalu dinantikan anak-anak setempat. Dari sinilah kegiatan Floating School atau Sekolah Terapung dimulai, sebuah inisiatif pendidikan nonformal yang digagas oleh beberapa orang muda Sulawesi Selatan.
Keterbatasan yang Melahirkan Tekad
Salah seorang dari penggagas Sekolah Terapung tersebut bernama Rahmat Hidayat, pemuda Pangkep, Sulawesi Selatan. Ia juga tumbuh di kepulauan yang indah, tetapi sarat akan keterbatasan, salah satunya dalam hal pendidikan. Tiga tahun duduk di bangku SMP, Rahmat hanya mengenal komputer lewat buku tanpa benar-benar menyentuhnya. Keterbatasan itu menjadi bahan bakar semangatnya untuk memutus keterbatasan yang sama. Rahmat yang beruntung bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi bertekad agar lebih banyak anak di kepulauan tersebut melakukan hal yang sama karena ia percaya bahwa keterbatasan geografis seharusnya tidak menjadi penghalang untuk mewujudkan mimpi.
Lahirnya Sekolah Terapung
Pada tahun 2016, Rahmat bersama dua rekannya, Nur Al Marwah Asrul dan Rahmania Rahman, mulai menggagas Floating School Makassar dan beroperasi setahun kemudian. Sekolah ini membawa misi meningkatkan kualitas pemuda di kepulauan melalui program yang disusun berdasarkan minat dan bakat masing-masing siswa. Sekolah Terapung menyediakan 7 kelas kreatif, yakni kelas menulis, menggambar, fotografi, musik, menari, prakarya, dan kelas komputer. Penyesuaian program ini dilakukan karena kurikulum sekolah umum selama ini seringkali tidak relevan dengan kebutuhan di daerah target. Para siswa didorong untuk mengembangkan kreativitasnya berdasarkan apa ada di sekeliling mereka, contohnya saat membuat kerajinan, mereka menggunakan bahan yang mudah ditemukan, seperti kulit kerang, jaring ikan bekas, dan daun kelapa.
Dampak Kehadiran Sekolah Terapung
Sekolah Terapung membawa dampak nyata bagi anak-anak dan pemuda di kepulauan tersebut. “Ketika anak-anak baru mulai belajar dengan laptop, jangankan mengetik, untuk menekan tombol power saja mereka takut setengah mati, takut rusak dan sebagainya,” ungkap Rahmiana, salah satu pendiri Sekolah Terapung yang menceritakan salah satu tantangan para relawan dalam mengajar. Namun, seiring berjalannya waktu, dampak nyata dari kehadiran Sekolah Terapung mulai terlihat dari anak-anak yang akhirnya mampu mengoperasikan laptop, mengetik di Microsoft Word, hingga menjalin pertemanan dengan teman dari pulau lain melalui internet.
Penghargaan dan Apresiasi yang Diterima
Atas dedikasi dan kerja keras Rahmat dan rekannya, pada tahun 2018, ia menerima Apresiasi SATU Indonesia Awards tingkat provinsi untuk kategori Pendidikan. Penghargaan ini menjadi pengakuan atas upayanya menggerakkan perubahan di wilayah kepulauan, sekaligus menjadi penegas bahwa langkah kecil dari sebuah kapal bisa menggema hingga ke seluruh Indonesia.
Walaupun program Sekolah Terapung kini telah berakhir, kehadirannya menjadi simbol harapan dan bukti bahwa pendidikan bisa hadir di mana saja, bahkan di tengah kepulauan yang serba terbatas. Dari kapal kecil, Rahmat Hidayat dan rekannya menyalakan ilmu yang menerangi pulau-pulau kecil di sekitar Sulawesi Selatan.
Kawan GNFI, kisah ini sekaligus menjadi pengingat bagi kita bahwa perubahan seringkali dimulai dari langkah kecil. Selama masih ada tekad dan semangat untuk berbagi, keterbatasan sedikit demi sedikit bisa ditaklukkan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi generasi penerus, salah satunya melalui pendidikan. Setiap tawa anak pulau yang belajar, ada Rahmat Hidayat dan para relawan yang membuktikan bahwa mimpi bisa dijaring, bahkan dari lautan luas sekali pun.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News