Pulau Papua dibagi menjadi dua bagian untuk dua negara berdaulat, yakni Indonesia dan Papua Nugini. Kedua negara dipisahkan oleh garis sepanjang 820 hingga 824 kilometer.
Salah satu wilayah di Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini adalah Desa Skouw. Daerah ini terletak di Distrik Muara Tami, Jayapura, Provinsi Papua.
Desa Skouw bersinggungan langsung dengan Desa Wutung, Provinsi Sandau, Papua Nugini. Warga dari dua negara ini sering berinteraksi, utamanya di bidang ekonomi.
Wutung yang ‘Bergantung’ pada Skouw
Di Desa Skouw, dibangun sebuah Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw yang menjadi gerbang pengawasan lintas negara antara Indonesia dan Papua Nugini. Di sini, warga Papua yang ingin masuk ke wilayah Papua Nugini dan sebaliknya, diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan di layanan imigrasi.
Daerah perbatasan ini selalu ramai, utamanya oleh warga Wutung yang datang ke Skouw. Wutung sendiri memang menjadi titik resmi lintas batas negara yang menghubungkan Wutung Border Post (WBP) dengan PLBN Wutung.
Melalui Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) RI, tiap harinya, warga Wutung berjalan kaki menyeberang ke Indonesia untuk melakukan berbagai aktivitas, mulai dari berbelanja, pemeriksaan kesehatan, sampai menjaga hubungan sosial dengan kerabat mereka di Papua.
Dikatakan bahwa berbagai layanan penunjang kehidupan masyarakat di Wutung masih sangat terbatas, termasuk pendidikan dan kesehatan. Di lain sisi, harga kebutuhan pokok terus melonjak tinggi. Bahkan, harga bahan di Wutung jauh lebih mahal dibandingkan di Indonesia.
Tak heran jika setiap hari banyak warga negara tetangga bertandang ke Indonesia untuk berbelanja dan mendapatkan akses penunjang lainnya yang lebih ‘baik’. PLBN Skouw seakan menjadi secercah harapan bagi masyarakat di Papua Nugini untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup mereka yang serba terbatas di negeri sendri.
Puluhan sampai ratusan warga Wutung sering dijumpai berbelanja di pasar dekat PLBN Skouw. Mereka membawa keranjang dan karung untuk mengangkut belanjaan. Berbagai kebutuhan, mulai dari beras, minyak, sabun, hampir semuanya dibeli dari Indonesia.
Beberapa di antaranya juga membeli dalam jumlah besar untuk kemudian dijual kembali di pasar lokal daerah Wutung atau Vanimo—ibu kota Provinsi Sandaun.
Warga Papua Nugini yang ingin berbelanja di Indonesia diwajibkan menyiapkan dokumen pendukung, seperti paspor. Jika belum memiliki paspor, mereka akan diminta untuk memberikan surat rekomendasi dari imigrasi Papua Nugini agar bisa masuk ke Indonesia.
Melansir dari ANTARA, tiap Selasa, warga Papua Nugini diizinkan masuk Indonesia dengan hanya menggunakan dokumen berupa kertas manifes yang berisi nama-nama mereka. Namun, dokumen ini hanya berlaku sampai pasar Skouw saja.
Hari di mana warga dapat berbelanja tanpa paspor ini dinamakan ‘hari pasar’. Saat hari pasar, jumlah pengunjung yang datang ke pasar Skouw bisa mencapai 1.200 orang.
Banyak Transaksi dengan Mata Uang Kina
Meskipun berada di wilayah kedaulatan RI, transaksi di pasar Skouw justru lebih banyak memakai Kina—mata uang Papua Nugini. Menyadur dari tulisan ilmiah milik M. Zainal Abidin dan Siti Qamariah Tiflen di jurnal OIKONOMIKA, penggunaan kina bukan hanya terbatas pada jual beli barang konsumsi, tetapi juga transaksi lainnya.
Pedagang di pasar Skouw juga mau menerima kina karena stabilitas nilai tukarnya lebih stabil dibandingkan rupiah. Transaksi dengan rupiah digunakan di toko tertentu yang mengharuskan penggunaan rupiah.
Namun, umumnya masyarakat lebih sering memakai kina dalam jual beli. Melihat fenomena ini, Bank Indonesia (BI) melakukan sosialisasi agar transaksi dilakukan dengan rupiah.
Data BI, di semester awal 2025, penukaran kina ke rupiah mencapai Rp9,6 miliar. Jumlah ini lebih besar dibanding rupiah ke kina.
BI juga mengimbau pedagang agar hanya menggunakan rupiah saat bertransaksi. Tak hanya itu, ada spanduk berbahasa Inggris-Fiji yang dipasang agar warga Papua Nugini mengerti terkait imbauan ini.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News