Monumen Nasional, atau yang biasa kita sebut dengan Monas, tetap berdiri kokoh di jantung Jakarta. Ia menjulang setinggi 132 meter dengan lidah api berlapis emas di puncaknya. Sebuah simbol yang tak hanya merepresentasikan semangat perjuangan, tapi juga kebanggaan sebuah bangsa.
Bagi sebagian orang, Monas adalah destinasi wajib saat pertama kali menginjakkan kaki di ibu kota. Namun, bagi warga Jakarta yang hidup di tengah gempuran hiburan modern, mal mewah, dan destinasi wisata baru lainnya, apakah wisata ke Monas masih relevan untuk masyarakat saat ini?
Sebab, di era ketika masyarakat bisa menikmati panorama kota lewat rooftop cafe dengan dekorasi instagramable, atau menonton pertunjukan sejarah melalui medium digital dengan kualitas sinematik, Monas seolah berdiri di persimpangan antara ikon masa lalu atau destinasi masa kini.
Monas dibangun pada masa Presiden Soekarno, yang dikenal begitu gigih membangun simbol-simbol kebangsaan. Peletakan batu pertama dilakukan pada 17 Agustus 1961, dan butuh waktu lebih dari satu dekade hingga akhirnya diresmikan pada 1975.
Soekarno tidak sekadar mendirikan tugu, melainkan menghadirkan monumen yang menjadi representasi perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Api emas di puncaknya melambangkan semangat yang tak pernah padam. Monas bukan hanya sekadar wisata, melainkan ruang yang menyimpan narasi kolektif bangsa.
Saya melangkahkan kaki masuk dari pintu sisi selatan, menuruni lorong yang membawa saya menuju ruang diorama. Di sana, lebih dari 50 diorama menyambut pandangan, masing-masing bercerita tentang perjalanan panjang bangsa ini.
Mulai dari kejayaan kerajaan Nusantara, masa kelam kolonialisme, perlawanan rakyat, hingga akhirnya sampai pada proklamasi kemerdekaan. Meski statis, tiap adegan terasa hidup, seakan saya diajak masuk ke dalam lembaran sejarah yang dulu hanya saya kenal lewat buku pelajaran.
Langkah lain kemudian membawa saya menuju Ruang Kemerdekaan. Begitu pintu terbuka, suasana berubah hening dan khidmat. Di hadapan saya tersimpan naskah asli teks Proklamasi. Suara Bung Karno membacakan Proklamasi terdengar seperti dibawa kembali ke momen 17 Agustus 1945.
Di ruangan ini pula berkibar simbol-simbol kenegaraan, termasuk bendera pusaka. Ada rasa haru, bangga, sekaligus takjub. Sesuatu yang mustahil digantikan oleh museum virtual di layar ponsel.
Keluar dari ruangan, saya disambut relief besar yang terpahat di dinding, menggambarkan perjuangan rakyat dari masa penjajahan hingga era pembangunan. Tak berhenti di situ, saya naik ke Pelataran Puncak setinggi 115 meter.
Dari sana, panorama Jakarta terbentang luas, hiruk pikuk kota terasa kecil jika dibandingkan dengan jejak besar sejarah yang baru saja saya saksikan. Semua perjalanan ini berpuncak pada pemandangan Lidah Api Kemerdekaan yang menjulang 14 meter, berlapis emas, melambangkan semangat abadi perjuangan bangsa.
Bagi wisatawan lokal maupun mancanegara, sky view menjadi daya tarik tersendiri bagi wisata Monas. Dari puncaknya, pengunjung bisa menikmati pemandangan 360 derajat kota Jakarta. Gedung-gedung pencakar langit, lautan atap rumah, hingga garis pantai di utara, semuanya terlihat dari atas sana.
Walau gedung-gedung pencakar langit di Jakarta juga menyajikan pemandangan yang mirip, pengalaman melihat Jakarta dari Monas memiliki makna berbeda. Monas hadir bukan sekadar menampilkan panorama, melainkan mampu menghadirkan ruang refleksi bagi sejarah, edukasi, dan kebanggaan nasional.
Dalam beberapa tahun terakhir, Monas juga mengalami revitalisasi. Area taman lebih tertata, air mancur menari kembali dihidupkan, dan akses transportasi umum semakin mudah berkat keberadaan MRT maupun TransJakarta. Semua ini menunjukkan bahwa Monas tetap berusaha menjadi ruang publik yang inklusif.
Namun tentunya hal ini tak terlepas dari tantangan, di mana sasyarakat urban kini lebih suka mencari hiburan yang instan, interaktif, dan “instagramable.” Sebuah wahana sejarah yang bergantung pada diorama statis tentu terasa kalah bersaing dibandingkan museum interaktif modern yang menggunakan teknologi augmented reality atau wahana hiburan yang menawarkan sensasi virtual.
Mengunjungi Monas berarti sedang melakukan sebuah perjalanan reflektif. Mengingat bagaimana bangsa ini berdiri, bagaimana harga kemerdekaan dibayar dengan darah dan air mata, serta bagaimana semangat itu harus terus diwariskan.
Tentu, hal ini tidak berarti Monas harus berhenti berinovasi. Justru, pengelola Monas perlu memikirkan cara agar nilai sejarah bisa dikemas lebih menarik, tanpa mengorbankan sakralitasnya.
Diorama bisa dilengkapi dengan teknologi multimedia, tur bisa disertai panduan audio yang interaktif, dan acara publik seperti diskusi atau pameran temporer bisa lebih sering diadakan. Dengan begitu, Monas tidak kehilangan jiwanya sebagai monumen sejarah, tetapi juga tidak tertinggal oleh perkembangan zaman.
Monas mungkin tidak bisa menawarkan gemerlap seperti pusat hiburan modern, tetapi ia menghadirkan ruang untuk memahami identitas dan sejarah bangsa. Relevansi Monas akan tetap terjaga selama masyarakat menyadari pentingnya mengenang masa lalu. Sebab, bangsa yang melupakan sejarahnya, ibarat bangsa yang kehilangan jiwanya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News