“Prostitusi memiliki dampak psikologis berbahaya bagi anak perempuan, apalagi rakyat kalangan bawah. Modalnya hanya cantik sehingga jadi jalan pintas cari uang. Disinilah Sanggar Omah Nduwur lahir merubah stigma untuk mereka bisa belajar hidup dari kesenian.” Ungkap Abdul Semut, saat diwawancarai di kediamannya Sabtu (14/09).
Di antara himpitan komplek Surabaya, berdiri sebuah bangunan dari sisa lokalisasi prostitusi Bangunrejo. Disanalah sanggar “Omah Nduwur” lahir. Sebuah kisah bagaimana Abdul Semut selaku pendiri sanggar melihat potensi dari daerah lokalisasi, bagaimana ia mendidik anak sekitar dan memberi lapangan pekerjaan melalui kesenian.
"Sanggar ini lahir ketika lokalisasi sudah membaur dengan masyarakat. Tempat ini menjadi ruang kesempatan berkarir di kesenian kala itu." Celoteh Abdul Semut, sewaktu ditanya soal awal mula mendirikan sanggar 12 tahun lalu.
Menurutnya, sanggar ini adalah bukti nyata bahwa seni bisa menjadi alat pemberdayaan, sebuah ruang alternatif bagi perempuan untuk menemukan identitas baru yang lebih positif.
Nama "Omah Nduwur," yang secara harfiah berarti rumah tinggi, bukan sekadar merujuk pada letak sanggar di lantai dua. Ini adalah simbol sebuah rumah yang menjunjung tinggi nilai luhur dan fondasi kokoh untuk masa depan, imbuhnya.
Merajut Kesenian Tari Tradisional di Desa Bangunrejo
Meskipun tujuan awalnya bergerak di ranah teater dan ludruk, justru yang paling digemari di sanggar adalah seni tari. Latihan di Omah Nduwur lebih dari sekedar menggerakkan tubuh, namun juga proses pembentukan karakter.
"Seni tradisional itu bukan asal-asalan. Tari mengajarkan olah pikir, olah raga, dan olah rasa," tutur Abdul. Filosofi ini menjadi inti dari setiap pelajaran di sanggar, mengubah setiap sesi latihan menjadi sebuah proses pendewasaan.
Olah pikir diwujudkan dalam pemahaman tentang sejarah dan makna simbolik setiap gerakan, seperti tari Remong yang secara substansi bermakna perlawanan. Olah raga adalah disiplin fisik yang membentuk kelenturan tubuh. Sementara olah rasa adalah puncak dari segalanya, di mana anak diajarkan meresapi emosi dan makna tarian.
Hal ini sangat krusial terutama bagi mayoritas anak sekitar, di mana ketika mereka seringkali tak memiliki ruang berekspresi, maka cenderung dilampiaskan ke hal negatif.
Abdul juga mengakui, lebih mudah mengajar anak usia dini karena mudah dibentuk dan nilai yang ditanamkan akan lebih mengakar.
Dirinya menyadari tantangan budaya lokal saat ini yang tergerus oleh budaya luar. Ia menyebut minimnya dukungan pemerintah dan faktor marketing budaya musik, makanan, hingga film anak-anak dari luar sebagai penyebab utama.
"Pertimbangannya selalu untung rugi dalam dunia seni," katanya, soal dukungan negara yang hanya melihat seni dari kacamata ekonomi, bukan dari substansi pembentukan karakter jati diri bangsa.
Mengelola Sanggar Lewat Hati dan Swadaya
Seluruh bangunan di lantai dua sanggar didirikan secara sukarela oleh warga sekitar. Mulai dari desain ruangan, dekorasi, sampai cat dinding ruangan.
Meski sempat terhalang masalah finansial saat pandemi, sanggar ini terus berjuang. Biaya operasional kadang ditanggung sendiri oleh Abdul Semut atau dari bantuan berbagai pihak yang peduli. Bahkan, alat musik dan kostum diperoleh dari hibah atau uang yang dikumpulkan secara swadaya.
Pelatihan diberikan secara gratis, namun anak-anak biasanya memberikan donasi sukarela sebesar Rp 2.000, sebuah kontribusi dari mereka untuk sanggar.
Secara teknis, kegiatan tari dilakukan di hari minggu, mulai dari pukul sembilan sampai dua belas siang. Lantaran banyak yang hadir, sistem latihan dibuat bergantian, jadwal pagi untuk anak-anak, setelahnya baru usia dewasa hingga remaja.
“Kenapa hari minggu? Karena sanggar ini hanya ruang kegiatan setelah anak sekolah, jangan sampai mengganggu pendidikan formal,” imbuhnya.
Dengan anggota aktif sekitar 60-70 anak dari total 164 yang terdaftar, sanggar ini berhasil menimbulkan manfaat bagi warga. “Dampak yang dihasilkan tak hanya di bidang seni, tetapi juga pada aspek ekonomi, pendidikan dan kebiasaan warga lokal,” Ucap Abdul.
Jejak langkah Omah Nduwur tidak berhenti di sana. Abdul membangun kerja sama dengan Universitas Airlangga dan mendirikan sanggar di desa terdekat, Omah Banyu Urip dan Petemon dibawah naungan Paseduluran Djati. Tujuannya untuk saling berjejaring, menghidupkan kesenian di kampung, sebagaimana diberitakan oleh kabartrenggalek.com.
Menariknya beliau tidak merasa melakukan hal istimewa, menurutnya sanggar hanya sekedar rumah untuk guyup rukun dan bicara bersama. “Saya tidak punya standar setiap murid harus bisa menari bagus, yang saya inginkan dari menari orang menemukan diri dan menjadi orang bermanfaat.” Ujarnya.
Ia berpesan kepada generasi muda yang akan lulus menempuh pendidikan sarjana agar tidak semata melihat seni sebagai lahan uang, tapi juga makna dan manfaatnya bagi orang-orang di sekitar kita.
Kegiatan Sanggar dapat Kawan lihat di akun Instagram @sanggar_omahnduwur
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News