BisnisCirebon.com – Sore hari di Warung Bu Asih selalu menghadirkan suasana yang khas. Aroma bumbu kacang dan bawang goreng memenuhi udara, berpadu dengan suara ulekan yang ritmis. Di meja-meja pendek hingga area lesehan sederhana di belakang, puluhan mahasiswa tampak sibuk “mengatur keuangan” bukan dengan kalkulator, melainkan dengan sendok dan garpu.
Terletak di jalan menuju kampus yang kini dikepung gedung-gedung baru, warung legendaris ini masih berdiri teguh sebagai penyelamat kantong mahasiswa.
“Alhamdulillah kalau masih bisa bermanfaat. Saya tahu betul rasanya jadi mahasiswa, uang kiriman belum datang, tapi perut tetap harus kenyang,” ujar Bu Asih sambil menyiramkan sambal kacang dan kecap di atas sepiring nasi hangat lengkap dengan tahu, tempe, tauge, dan seledri.
Di tengah gempuran inflasi dan tren nongkrong di coffee shop, Bu Asih tetap mempertahankan harga yang “seakan terhenti oleh waktu”. Sepiring nasi lengko komplet dibanderol hanya Rp 5.000. Tempe atau tahu goreng renyah Rp 1.000 per biji, sementara segelas es tea jus segar Rp 1.500.
“Ini bukan sekadar soal selera, tapi survival,” kata Syahrul, mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi semester tujuh. “Dengan Rp 7.000, bisa makan kenyang plus minum. Kalau di tempat lain, mungkin cuma dapat nasi sama lauk, belum tentu minum.”
Baca Selengkapnya
