mengurai purbaya effect - News | Good News From Indonesia 2025

Mengurai 'Purbaya Effect': Gebrakan Agresif Menkeu Baru dan Pertaruhan Ekonomi Indonesia

Mengurai 'Purbaya Effect': Gebrakan Agresif Menkeu Baru dan Pertaruhan Ekonomi Indonesia
images info

Sebuah guncangan kecil, tetapi terasa signifikan, baru saja melanda pasar keuangan Indonesia. Guncangan itu bukan berasal dari krisis global, melainkan dari sebuah nama: Purbaya Yudhi Sadewa.

Tepat pada 8 September 2025, saat ia dilantik menjadi Menteri Keuangan menggantikan sosok legendaris Sri Mulyani Indrawati, pasar bereaksi seketika. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi tajam 1,78% di hari pertamanya.

Reaksi pasar ini memunculkan sebuah istilah baru yang mulai bergaung di kalangan analis: "Purbaya Effect". Namun, apa sebenarnya makna di balik istilah ini? Apakah ini sekadar sentimen sesaat atau sinyal dari sebuah pergeseran fundamental dalam mazhab kebijakan fiskal Indonesia?

Perlu Kawan GNFI ketahui, Purbaya Effect bukanlah sekadar tentang jatuhnya IHSG. Ia adalah representasi dari ekspektasi, harapan, sekaligus kekhawatiran pasar terhadap sebuah era baru yang lebih agresif, lebih berani, dan sarat akan pertaruhan. Ini adalah fenomena yang lahir dari rekam jejak dan gebrakan awal seorang teknokrat yang dikenal tidak suka bermain aman.

DNA Kebijakan Purbaya: Dari LPS Menuju "Bazooka" Fiskal Rp200 Triliun

Untuk memahami Purbaya Effect, kita harus menengok rekam jejak sang menteri. Sebelum menduduki kursi Bendahara Negara, Purbaya Yudhi Sadewa adalah Kepala Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Kala itu, terutama selama pandemi COVID-19, ia tidak hanya bertugas menjaga kepercayaan publik terhadap perbankan. Di balik layar, ia adalah salah satu penasihat kunci Presiden Joko Widodo yang mendorong kebijakan suntikan likuiditas untuk menggerakkan kembali ekonomi yang "tersedak".

Filosofi ini ia bawa dan langsung ia eksekusi dengan skala yang jauh lebih masif di hari-hari pertamanya sebagai Menteri Keuangan. Gebrakan pertamanya adalah kebijakan yang menjadi inti dari Purbaya Effect: rencana untuk menginjeksi likuiditas sebesar Rp200 triliun ke dalam sistem perbankan.

Mekanismenya sederhana, tetapi berdampak besar. Dana tersebut, yang merupakan bagian dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) pemerintah yang selama ini "mengendap" di Bank Indonesia, akan dipindahkan ke rekening enam bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).

Tujuannya, dalam kata-kata Purbaya sendiri, adalah untuk "memaksa" bank menyalurkan kredit. Dengan likuiditas yang melimpah, bank akan terdorong untuk mencari outlet penyaluran dana ketimbang membiarkannya diam dengan biaya dana yang terus berjalan.

Ini adalah sebuah kebijakan yang secara fundamental berbeda dari pendekatan sebelumnya yang lebih berfokus pada kehati-hatian (prudent).

Purbaya berargumen bahwa kapasitas produksi ekonomi Indonesia masih sangat besar sehingga suntikan likuiditas masif ini tidak akan serta-merta memicu inflasi yang tak terkendali. Baginya, kedua mesin pertumbuhan—pemerintah (fiskal) dan swasta—harus dinyalakan secara bersamaan dan dalam putaran tinggi.

Baca Juga: Mengenal Ferry Juliantono: Menteri Koperasi yang Tumbuh sebagai Aktivis dan Pegiat Koperasi

Reaksi Pasar: Antara Ketidakpastian dan Harapan

Bagaimana pasar merespons "bazooka" fiskal ini? Reaksinya terbelah, sebuah cerminan sempurna dari dualisme Purbaya Effect.

  1. Pasar Saham (IHSG): Reaksi awal jelas negatif. Pada hari pelantikannya, 8 September 2025, IHSG dibuka di level 7.912 dan ditutup anjlok ke 7.766, kehilangan 146 poin (-1,78%). Ini adalah respons klasik pasar terhadap ketidakpastian. Sosok Sri Mulyani selama ini dianggap sebagai "jangkar stabilitas" dan jaminan kredibilitas fiskal di mata investor global. Kepergiannya dan kedatangan figur baru dengan pendekatan yang belum teruji menciptakan shock jangka pendek. Purbaya sendiri menanggapi ini dengan tenang, menyatakan bahwa investor hanya belum mengenalnya.
  2. Pasar Valas (Rupiah): Di sisi lain, Rupiah menunjukkan cerita yang berbeda. Di tengah gejolak pasar saham, nilai tukar Rupiah justru cenderung stabil bahkan menguat. Hal ini dapat diartikan bahwa pasar valas merespons positif ekspektasi guyuran likuiditas yang dapat menjaga stabilitas sistem keuangan domestik.

Fenomena ini menunjukkan bahwa Purbaya Effect adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menciptakan ketidakpastian bagi investor portofolio yang mengutamakan stabilitas. Di sisi lain, ia menyalakan harapan bagi pelaku sektor riil yang mendambakan kredit murah dan stimulus pertumbuhan.

Debat Para Ekonom: Terobosan Cemerlang atau Pertaruhan Berisiko?

Gebrakan Purbaya sontak memicu perdebatan hangat di kalangan para ekonom.

Kubu Optimis melihat ini sebagai terobosan yang dibutuhkan. Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, misalnya, memandang positif langkah ini sebagai cara untuk mendorong pertumbuhan kredit yang lebih kencang.

Harapannya, likuiditas ini akan menekan suku bunga pinjaman dan mengalir deras ke sektor-sektor produktif seperti konstruksi dan properti, menciptakan efek domino ekonomi. Pendekatan ini dianggap berani dan berorientasi pada solusi nyata untuk menggerakkan roda perekonomian.

Kubu Skeptis, sebaliknya, menyoroti risiko yang tidak kecil. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) mempertanyakan diagnosis masalahnya: apakah ekonomi Indonesia benar-benar kekurangan likuiditas, atau yang terjadi adalah lemahnya permintaan kredit akibat daya beli yang belum pulih sepenuhnya?

Jika permintaan lemah, suntikan dana Rp200 triliun ini berisiko hanya akan berputar-putar di pasar keuangan (menciptakan moral hazard) atau bahkan memicu tekanan inflasi jika tidak diimbangi dengan peningkatan produksi.

Kekhawatiran lain adalah mengenai kredibilitas fiskal. Purbaya, meskipun seorang teknokrat ulung, belum memiliki rekam jejak langsung dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pendekatannya yang agresif dikhawatirkan dapat mengorbankan disiplin fiskal yang telah susah payah dibangun selama bertahun-tahun.

Babak Baru Kebijakan Fiskal Indonesia

Kawan GNFI, pada akhirnya, Purbaya Effect menandai sebuah babak baru yang sangat penting dalam sejarah pengelolaan ekonomi Indonesia. Ini adalah pergeseran dari era fiskal konservatif yang berfokus pada stabilitas, menuju era fiskal ekspansif yang berorientasi pada pertumbuhan agresif.

Jika kebijakan di era sebelumnya dapat diibaratkan seperti seorang nakhoda yang mengemudikan kapal dengan hati-hati melewati badai, maka kebijakan Purbaya adalah seperti nakhoda yang dengan sengaja menambah kecepatan penuh untuk mencapai tujuan lebih cepat, meski dengan risiko gelombang yang lebih besar.

Keberhasilan strategi ini akan sangat bergantung pada eksekusi dan mitigasi risikonya. Apakah gebrakan likuiditas ini akan berhasil diterjemahkan menjadi investasi riil dan penciptaan lapangan kerja? Ataukah ia hanya akan menjadi bumerang yang mengancam stabilitas makroekonomi?

Jawabannya belum bisa kita lihat hari ini. Namun, satu hal yang pasti: Purbaya Effect telah memaksa kita semua untuk keluar dari zona nyaman dan menyaksikan sebuah pertaruhan besar yang akan menentukan arah masa depan ekonomi Indonesia. Kita semua adalah saksinya.

Baca Juga: Kemenkeu Siapkan Rp200 Triliun di Bank Nasional untuk Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

OA
FS
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.