Satu dekade lalu, banyak dari kita merasa optimis. Pemerintahan Jokowi–JK baru naik, euforia ekonomi digital menggema, startup tumbuh seperti jamur di musim hujan. Kita membayangkan masa depan yang jauh lebih makmur, masyarakat makin punya banyak uang.
Sejak 2014, ekonomi Indonesia memang tumbuh rata-rata 5% per tahun. Angka ini dulu sering dibanggakan, dianggap bukti stabilitas. Tapi untuk negara menengah bawah seperti Indonesia, 5% sejatinya bukan prestasi besar. Pertumbuhan setinggi itu tidak cukup untuk membuat dompet rakyat benar-benar tebal di masa depan.
Dan itu terbukti. Mari kita lihat angka GDP per capita, atau pendapatan rata-rata per orang. Tahun 2014, dompet rata-rata orang Indonesia setara sekitar USD 3.520 per tahun, setidaknya menurut hitungan ekonomi.
Apa maksudnya? GDP per capita itu cara ekonom membagi kue nasional. Ambil seluruh nilai ekonomi Indonesia setahun, lalu bagi rata ke semua penduduk. Hasilnya itulah GDP per capita. Bayangkan ekonomi Indonesia sebagai nasi tumpeng raksasa: setiap orang seharusnya kebagian potongan sekitar USD 3.520 per tahun.
Tentu kenyataannya tak merata, ada yang bisa nambah lauk berkali-kali, ada yang cuma kebagian remah. Atau lebih sederhana: satu panci bakso super raksasa dibagi ke seluruh rakyat. Rata-ratanya mungkin semangkuk penuh, tapi ada segelintir yang dapat sepuluh mangkok, ada rakyat kecil yang cuma kebagian kuahnya, ada yang kebagian sisa potongan sayurnya.
Indonesia: Dekade yang .. Lambat
Sepuluh tahun berjalan, 2024 angka itu baru naik jadi USD 5.030. Hanya bertambah sekitar 1.500 dolar dalam satu dekade penuh. Naiknya 43% dalam 10 tahun, cukup pelan kalau dibandingkan dengan kebutuhan hidup yang sudah naik berkali lipat.
Di tengah itu, datang Covid-19. Tahun 2020, ekonomi kita minus, GDP per capita turun ke sekitar USD 3.780. Jutaan pekerja kehilangan penghasilan, UMKM megap-megap, dan rumah tangga menengah ke bawah makin tertekan. Memang pada 2021–2022 ekonomi bangkit lagi, tapi pemulihan itu lebih banyak untuk menambal luka lama ketimbang membuka jalan baru. Akibatnya, pada 2024, kita hanya kembali ke tren yang sama: naik, tapi lambat.
Sementara itu, tetangga kita Vietnam melesat. Pada 2014, mereka masih di angka USD 2.060 per orang, jauh di bawah kita. Tahun ini, 2024, sudah USD 4.810. Hampir dua kali lipat. Dari “adik kecil” ASEAN, kini mereka menempel ketat di belakang kita. Mungkin 2-3 tahun lagi sudah di depan kita.
Filipina pun mendaki dengan stabil. Dari USD 2.860 ke 4.350. Juga makin dekat menempel kita..
Thailand: Cermin yang Menakutkan
Kalau ada negara yang seharusnya jadi alarm bagi kita, itu Thailand. Pada 2014, GDP per capita mereka USD 6.050. Sepuluh tahun kemudian, 2024, hanya jadi USD 7.650. Naiknya cuma USD 1.600, mirip kita.
Bedanya, GDP per capita Thailand sudah lebih tinggi dari Indonesia sejak lama, tapi mereka terjebak di situ selama bertahun-tahun. Infrastruktur ada, pariwisata hebat, tapi produktivitas stagnan. Mereka 'nyaman' di kelas menengah, tapi selalu gagal loncat jadi negara maju.
Masalahnya bukan cuma ekonomi. Politik mereka pun jungkir-balik. Hanya dalam dua tahun terakhir saja, Thailand sudah berganti tiga perdana menteri. Yang terbaru, Anutin Charnvirakul, seorang taipan konstruksi, baru saja naik jadi PM pada September 2025 setelah pendahulunya dari klan Shinawatra dipecat Mahkamah Konstitusi karena pelanggaran etika. Anutin memimpin dengan syarat: parlemen akan segera dibubarkan untuk pemilu baru.
Dan kalau ditarik lebih jauh, sejak kudeta militer 2006 Thailand sudah berganti perdana menteri setidaknya sembilan kali. Ada yang jatuh karena kudeta, ada yang dipecat pengadilan, ada yang tumbang karena koalisi bubar. Bahkan ada masa di mana caretaker hanya memimpin hitungan minggu. Politik Thailand seperti pintu putar: cepat masuk, cepat keluar.
Bayangkan, ekonomi stagnan, politik tak stabil, pemimpin silih berganti. Amit-amit, Indonesia jangan sampai masuk jalur seperti ini.
Vietnam Melompat, Filipina Mendaki
Vietnam bisa melesat karena agresif menarik investasi manufaktur. Perusahaan Jepang, Korea, dan Amerika yang dulu masuk ke China, kini pindah ke Vietnam. Regulasi jelas, buruh murah, hukum relatif stabil. Hasilnya: ekonomi tumbuh kencang, rakyat ikut naik kelas.
Filipina punya resep berbeda. Mereka andalkan BPO (business process outsourcing) dan remitansi dari pekerja luar negeri yang luar biasa besar. Tidak spektakuler, tapi konsisten menambah daya beli rakyat.
The Lost Decade
“Lost decade” bukan berarti ekonomi kita hancur. Justru sebaliknya, tumbuh stabil. Tapi stabil tidak cukup. Untuk negara menengah bawah seperti Indonesia, 5% itu terlalu "kecil" untuk membuat rakyat naik kelas.
Seandainya 2024 GDP per capita kita bisa tembus USD 7.000–8.000, cerita akan lain. Kelas menengah lebih kuat, daya beli lebih tinggi, UMKM lebih hidup. Faktanya? Hanya naik 1.500 dolar dalam 10 tahun, sulit terasa, ketika biaya hidup naik lebih cepat.
Tahun ini Indonesia berusia 80 tahun. Usia matang untuk sebuah bangsa. Pertanyaan besarnya: apakah kita akan keluar dari treadmill, dan berlari kencang?
Presiden Prabowo sudah melempar target ambisius: ekonomi Indonesia tumbuh 8%. Entah kapan. Target ini bukan tak mungkin dicapai, tapi tentu sulit sekali. Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, yang baru dua hari dilantik menggantikan Sri Mulyani, langsung menegaskan bahwa 8% adalah “keharusan” jika Indonesia ingin sejajar dengan Jepang, Korea Selatan, atau China. Tapi ia juga mengakui, target itu sangat optimistis, bahkan mungkin terlalu optimistis, meski tetap bisa dicapai kalau mesin pemerintah dan sektor swasta sama-sama digerakkan.
Target yang masih jadi cita-cita kita justru sudah dicapai oleh tetangga. Vietnam baru saja mencatat pertumbuhan 7,96% pada kuartal II 2025, nyaris 8%. Mengutip Kantor Statistik Nasional Vietnam, itu adalah kinerja terkuat mereka dalam lebih dari satu dekade, bahkan pertumbuhan semesteran tertinggi sejak 2011. Industri manufaktur melesat lebih dari 10%, konstruksi hampir 10%, sektor jasa di atas 8%. Semua ini terjadi di tengah gejolak ekonomi global.
Sepuluh tahun terakhir seharusnya jadi loncatan. Tapi yang terjadi, kita kehilangan momentum. Kita tak perlu malu mengakui itu. Kita seperti pelari maraton yang memilih jogging di treadmill: capek iya, maju tidak.
Vietnam membuktikan bahwa target 8% bukan sekadar mimpi, tapi bisa jadi kenyataan. Filipina menunjukkan konsistensi. Thailand memberi peringatan keras, baik soal stagnasi ekonomi maupun politik jungkir-balik. Indonesia? Kita harus memilih.
Tapi kalau boleh memilih, amit-amit, jangan sampai kita jadi Thailand kedua.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News