Kasus pembunuhan pengemudi ojek online (ojol) oleh Brimob tengah jadi pembicaraan. Ada harapan agar kasusnya bisa diusut tuntas, dengan syarat ada akuntabilitas.
Pada Kamis (28/8/2025) petang, sebuah insiden tragis menodai unjuk rasa di kompleks gedung DPR RI, Jakarta. Di tengah riuh demonstrasi, nyawa seorang pengemudi ojol bernama Affan Kurniawan melayang. Ia tewas usai ditabrak oleh sebuah kendaraan taktis (rantis) Satbrimob Polda Metro Jaya.
Tak ayal, kasus itu menarik perhatian publik. Banyak seruan agar kasus tersebut bisa dituntaskan dan pelakunya dihukum sesuai aturan yang berlaku.
Salah satu hal wajib dalam upaya penuntasan kasus tersebut adalah akuntabilitas. Dengan adanya akuntabilitas, akan terbuka pula harapan agar semua terungkap dan pelaku bisa ditindak seadil-adilnya.
Ini Tugas Pokok Polisi Menurut Undang-Undang, Salah Satunya Melindungi Masyarakat
Pentingnya Akuntabilitas dalam Pengusutan Kasus
Pentingnya akuntabilitas dalam upaya penuntasan kasus pembunuhan Affan oleh Brimob disampaikan oleh pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Biantara Albab. Menurutnya, kasus ini memang membuka tabir persoalan akuntabilitas dalam institusi negara, khususnya Polri.
Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban suatu pihak untuk memberikan pertanggungjawaban atas suatu tindakan yang telah dilakukan kepada pihak yang lain yang memang berhak. Dalam kasus pembunuhan Affan, pemerintah merupakan pihak yang bertanggungjawab dan publik punya hak meminta pertanggungjawaban itu.
"Pemerintah harus membuka seluruh proses hukum dari awal hingga akhir secara transparan kepada publik," ujar Biantara dalam dipublikasikan keterangan tertulis UMY.
Biantara menegaskan bahwa prinsip equality before the law harus menjadi pijakan utama. Ia menuntut proses hukum yang transparan dan imparsial. Kasus ini juga diharapkan tidak berhenti pada sanksi internal atau kode etik semata.
"Penanganan kasus harus imparsial, tanpa keberpihakan, dan tidak boleh melindungi aparat hanya karena statusnya sebagai bagian dari institusi negara." lanjutnya.
Alih-alih hanya sanksi internal atau kode etik, pelaku perlu diproses secara pidana demi terciptanya keadilan bagi korban dan keluarga. Apalagi, negara wajib hadir memberikan keadilan hukum secara setara, baik itu bagi aparat maupun masyarakat biasa.
"Apakah masuk pasal pembunuhan, kelalaian, atau pasal lain, yang terpenting jangan berhenti di ranah profesi kepolisian." kata Biantara.
Diketahui, rantis yang menabrak Affan berisi tujuh anggota Satbrimob Polda Metro Jaya. Ketujuh personel tersebut adalah Bripka R, Kompol C, Aipda R, Briptu D, Bripda M, Bharaka J, dan Bharaka Y.
Kasus ini kini ditangani oleh Divisi Propam Polri. Usai pemeriksaan awal, Kadiv Propam Polri Irjen Pol. Abdul Karim menyatakan bahwa para personel tersebut terbukti melanggar kode etik kepolisian. Sebagai konsekuensi, mereka menjalani penempatan khusus (patsus) di Divisi Propam Polri. Patsus ini berlaku selama 20 hari, terhitung sejak 29 Agustus 2025 hingga 17 September 2025.
Kapolri Listyo Sigit Wibowo dan Presiden Prabowo Subianto juga sudah menyampaikan pernyataan resmi. Kapolri berjanji pihaknya akan mengusut tuntas kasus ini, sementara Presiden menyatakan akan menjamin kehidupan keluarga Affan yang ditinggalkan.
Terkait dengan pentingnya akuntabilitas, pakar hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Satria Unggul Wicaksana, juga punya pendapat senada. Ia bahkan tak hanya mendesak Presiden dan Kapolri untuk bertanggung jawab penuh, melainkan juga melibatkan penyelidikan independen dari Komnas HAM.
Menurut Satria, partisipasi Komnas HAM inilah yang dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas penanganan kasus yang tengah bergulir di internal Polri sehingga mutlak diperlukan.
"Reformasi Polri harus dilakukan secara menyeluruh," tegasnya seperti dilansir laman resmi UM Surabaya.
"Kasus-kasus kekerasan oleh aparat yang terus berulang adalah bukti bahwa reformasi yang dijalankan selama ini belum menyentuh akar persoalan."
Satria mengingatkan bahwa aparat keamanan bersenjata seharusnya menjaga keamanan negara dari ancaman serius seperti terorisme, bukan melawan masyarakat sipil. Peristiwa ini ia sebut sebagai "alarm darurat HAM" yang harus segera ditangani.
"Kalau terus begini, kita tidak bisa berharap masa depan demokrasi Indonesia akan berjalan baik-baik saja," pungkasnya.
Tak Seperti di Indonesia, Polisi di Negara-negara Ini Bertugas Tanpa Senjata Api
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News