kassian cephas fotografer pertama indonesia - News | Good News From Indonesia 2025

Mengenal Kassian Cephas: Dari Keraton Yogyakarta Menuju Sejarah Fotografi di Indonesia

Mengenal Kassian Cephas: Dari Keraton Yogyakarta Menuju Sejarah Fotografi di Indonesia
images info

Fotografi kini menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. Dari momen pribadi, karya seni, hingga dokumentasi sejarah, foto menjadi medium yang mampu merekam jejak peradaban.

Namun, tahukah Kawan GNFI bahwa fotografer profesional pertama dari Indonesia lahir di Yogyakarta pada abad ke-19? Dialah Kassian Cephas (1845–1912), seorang pribumi Jawa yang menorehkan sejarah sebagai pelopor fotografi Indonesia.

Awal Kehidupan dan Pendidikan

Kassian Cephas lahir pada 15 Januari 1845 di Yogyakarta dari pasangan Kartodrono dan Minah. Semasa kecil, ia menghabiskan waktu bersama seorang misionaris Protestan bernama Christina Petronella Philips-Steven.

Pada usia 15 tahun, tepatnya 27 Desember 1860, ia dibaptis di Bagelen, Purworejo, dan mengambil nama baptis Cephas, yang berarti “batu karang” dalam bahasa Aram. Sejak itu, nama tersebut melekat sebagai identitas barunya.

Pendidikan awalnya tidak jauh dari pengaruh budaya Jawa dan nilai-nilai Kristen. Setelah kembali ke Yogyakarta, Cephas mulai mengenal dunia fotografi yang pada masa itu merupakan teknologi modern yang baru diperkenalkan bangsa Eropa ke Hindia Belanda.

Perjalanan Karier Fotografi

Karier Cephas berawal pada 1860-an ketika ia menjadi murid Simon Willem Camerik, seorang fotografer sekaligus anggota Schutterij (milisi sipil) di Yogyakarta. Bakat Cephas yang menonjol membuatnya diperhatikan oleh Sultan Hamengkubuwana VI. Atas restu Sultan, ia kemudian dipercaya menjadi fotografer dan pelukis Keraton sejak 1871.

Tidak hanya Camerik, Cephas juga pernah berguru pada Isidore van Kinsbergen, fotografer kelahiran Belgia yang banyak mengabadikan peninggalan arkeologi Jawa. Dari kedua mentor inilah, Cephas menguasai teknik fotografi hingga mampu berdiri sebagai fotografer profesional pertama dari kalangan bumiputera.

Studio Fotografi di Yogyakarta

Pada dekade 1870-an, Cephas mendirikan studio fotografi di lantai dua rumahnya di kawasan Lodji Ketjil Wetan (kini Jalan Mayor Suryotomo). Studio ini menjadi salah satu usaha fotografi pertama yang dimiliki pribumi Jawa.

Melalui studio tersebut, Cephas memotret berbagai kalangan, mulai dari keluarga bangsawan hingga pejabat kolonial Belanda. Bahkan, pada terbitan pertama koran Mataram tahun 1877, Cephas memasang iklan untuk menawarkan jasanya kepada masyarakat umum. Hal ini menandai langkah penting dalam perkembangan industri fotografi di Yogyakarta kala itu.

Dokumentasi Warisan Budaya Jawa

Kawan GNFI, salah satu kontribusi besar Cephas adalah perannya dalam mendokumentasikan warisan budaya dan arkeologi Jawa. Bersama dokter Belanda Isaäc Groneman, ia tergabung dalam organisasi Archaeologische Vereeniging yang berfokus pada pelestarian situs kuno.

Foto Candi Prambanan karya Kassian Cephas, diambil pada agustus 1896 (Sumber: commons.wikimedia.org)
info gambar

Beberapa karya pentingnya antara lain:

  • Taman Sari (1884): Mengabadikan kompleks istana air Kesultanan Yogyakarta.
  • Candi Prambanan (1889): Mendokumentasikan relief dan arsitektur, termasuk denah yang digambar oleh putranya, Sem Cephas.
  • Candi Borobudur (1890): Memotret relief tersembunyi Karmawibhangga. Meski hanya menyelesaikan 160 panel karena keterbatasan dana, karya ini tetap monumental.
  • Tari Bedhaya di Keraton: Foto-fotonya dipublikasikan dalam buku In den Kedaton te Jogjåkartå (1888).

Lewat lensa kameranya, Cephas tidak sekadar merekam gambar, tetapi juga menjaga memori budaya Jawa agar tetap hidup hingga kini.

Hubungan dengan Keraton dan Tokoh Penting

Sebagai fotografer resmi kraton, Cephas memiliki akses istimewa untuk memotret Sri Sultan Hamengkubuwana VI dan VII, beserta keluarga kerajaan. Ia juga dipercaya mendokumentasikan kunjungan Raja Siam, Chulalongkorn, pada 1896. Sang raja bahkan menghadiahinya kotak berisi tiga kancing berhias batu permata sebagai tanda penghargaan.

Status Cephas sebagai abdi dalem kraton membuatnya dihormati tidak hanya di lingkungan Yogyakarta, tetapi juga di kancah internasional.

Penghargaan dan Pengakuan

Kiprah Cephas tidak berhenti di Nusantara. Pada 1901, ia dianugerahi Medali Emas Kehormatan Orde van Oranje-Nassau oleh Ratu Wilhelmina Belanda atas jasanya dalam mendokumentasikan kebudayaan Jawa. Ia juga diangkat sebagai anggota KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde), sebuah lembaga riset internasional bergengsi.

Prestasi ini menegaskan bahwa karya Cephas diakui tidak hanya secara lokal, tetapi juga di tingkat global.

Kehidupan Pribadi dan Keturunan

Cephas menikah dengan Dina Rakijah pada 22 Januari 1866. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai lima anak, termasuk Sem Cephas yang kelak meneruskan jejak sang ayah di dunia fotografi. Sayangnya, Sem wafat pada 1918 akibat kecelakaan berkuda, yang sekaligus menandai berakhirnya usaha fotografi keluarga Cephas.

Cephas sendiri pensiun dari fotografi sekitar 1905. Setelah istrinya meninggal pada 1911, ia menyusul setahun kemudian, tepatnya pada 16 November 1912 di usia 67 tahun.

Jejak Warisan di Yogyakarta

Rumah Cephas di Kampung Ratmakan, Yogyakarta, kini tinggal menyisakan sebagian kecil bangunan. Meski sebagian besar sudah berubah akibat perkembangan zaman, sisa rumah itu masih menjadi saksi bisu jejak sang fotografer.

Banyak karyanya kini tersimpan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat maupun di Belanda, baik dalam bentuk arsip cetak maupun digital. Upaya digitalisasi arsip yang dilakukan berbagai pihak memungkinkan generasi sekarang melihat kehidupan masyarakat Jawa tempo dulu melalui sudut pandang seorang pribumi.

Jejak Abadi Sang Pelopor

Kawan GNFI, kisah Kassian Cephas adalah cerita tentang keberanian seorang pribumi Jawa yang menembus batas kolonial, menguasai teknologi modern, dan mengabadikan warisan budaya bangsa. Sebagai fotografer profesional pertama Indonesia, ia membuka jalan bagi generasi berikutnya untuk menjadikan fotografi bukan sekadar dokumentasi, tetapi juga sarana pelestarian budaya.

Kini, di era ketika kamera bisa kita genggam dalam ponsel pintar, warisan Cephas mengingatkan kita bahwa setiap jepretan bukan hanya soal gambar, melainkan juga rekaman sejarah dan identitas bangsa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

OA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.