Di tengah geopolitik dunia yang terus bergejolak, Indonesia masih konsisten menerapkan prinsip politik luar negerinya yang bebas aktif. Politik luar negeri Indonesia berpijak pada prinsip bebas aktif sejak 1945.
Namun, di dunia yang dikhawatirkan semakin terpolarisasi ini, apakah prinsip bebas aktif masih relevan untuk Indonesia?
Kawan GNFI prinsip bebas merujuk pada kebebasan Indonesia untuk menentukan sikap sesuai dengan kepentingan nasionalnya tanpa tekanan atau ketergantungan pada negara maupun blok tertentu.
Sementara itu, aktif bermakna bahwa Indonesia secara proaktif ikut berkontribusi menciptakan perdamaian dunia dan terlibat dalam berbagai kegiatan politik luar negeri.
Wakil Menteri Luar Negeri RI, Arif Havas Oegroseno menyatakan jika prinsip politik Indonesia yang bebas aktif masih sangat relevan dan tidak pernah kehilangan relevansinya.
“Bebas aktif bukan berarti netral pasif. Justru kita harus berani bicara, hadir, dan terlibat dalam penyelesaian konflik,” tegas Havas dikutip dari laman umy.ac.id.
Indonesia Usung Polugri Bebas Aktif, Apakah Sama dengan Netral?
Indonesia Harus Memproyeksikan Diri sebagai Kekuatan Kawasan
Tak hanya itu, Wamenlu juga menegaskan bahwa politik luar negeri Indonesia tidak boleh berjalan di tempat. Menurutnya, penting bagi Indonesia untuk berani tampil di panggung dunia sebagai kekuatan kawasan yang diperhitungkan di kancah global, sekaligus setia pada prinsip polugri bebas aktif yang sudah diwariskan sejak awal kemerdekaan tersebut.
Kawan GNFI, dalam politik bebas aktif, jelas bahwa Indonesia tidak condong pada kekuatan militer tertentu. Alih-alih memihak, Indonesia memilih untuk menjalin kerja sama dan kemitraan dengan berbagai negara demi ikut menjaga perdamaian dunia bersama.
Posisi geografis Indonesia sangat strategis. Nusantara yang indah dan kaya berada di persimpangan dua benua dan dua samudra, membuatnya tak bisa menutup diri dari dinamika global.
“Kapal lewat kita, pesawat lewat kita, bahkan polusi pun lewat kita. Artinya, kita tidak bisa hanya berpikir ke dalam negeri,” jelasnya.
Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk memproyeksikan diri sebagai kekuatan kawasan. Di mata Havas, diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia, utamanya Presiden Prabowo ke berbagai negara adalah bukti nyata bagaimana Indonesia tengah berupaya membangun jejaring, kekuatan, dan pengaruh yang semakin diakui dunia.
“Begitu juga tamu-tamu negara yang datang ke Indonesia. Itu menunjukkan bahwa kita tidak hanya hadir, tetapi juga didatangi, artinya kita dihargai. Inilah wujud proyeksi kekuatan yang harus kita teruskan sesuai amanat konstitusi,” imbuh mantan Duta Besar Republik Federal Jerman itu.
Havas: Indonesia Harus Berani Terbang Tinggi
Bak burung Garuda yang gagah, demikian Havas menganalogikan politik luar negeri Indonesia saat ini. Cakar kakinya menancap di tanah air, dadanya berada di ASEAN, sayap kiri merentang ke Asia Selatan, Timur Tengah, dan Eropa.
Sementara itu, sayap kanan menjangkau Pasifik dan Amerika Serikat. Kepala si Garuda disebut Havas menatap ke Asia Timur.
“Garuda itu tegak, kokoh, dan percaya diri. Diplomasi kita pun harus begitu: berani terbang tinggi, tapi tetap membawa nilai-nilai yang kita yakini,” tegasnya.
Sebagai negara dengan populasi jumbo di Asia Tenggara, Indonesia sudah semestinya tampil dengan percaya diri sebagai negara demokrasi besar di dunia.
“Inti dari foreign policy kita tetap sama, DNA-nya adalah bebas aktif. Yang kita lakukan hari ini adalah mendefinisikan kepentingan nasional kita, lalu memperjuangkannya,” pungkasnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News