Pada 17 Agustus 2025, Indonesia memperingati 80 tahun Proklamasi Kemerdekaan. Dari garis waktunya, ini adalah satu penanda perjalanan panjang dinamika sebuah bangsa.
Setelah perjuangan mencapai kemerdekaan dituntaskan para perintis kemerdekaan di masa lalu, perjuangan belum selesai. Masih ada perjalanan panjang mengisi kemerdekaan, seperti yang kita jalani di era kekinian. Meski bukan lagi fokus pada perjuangan fisik di medan tempur, dinamikanya tak kalah menantang.
Ada kalanya situasi terasa menyenangkan, dan ada kalanya terasa serba sulit. Meski tak bisa dipilih dan kontradiktif, keduanya mampu menjadi satu dinamika unik yang berjalan seimbang.
Berkat keseimbangan itu, kita (sebagai sebuah bangsa) tidak sampai mabuk kepayang, saat kabar baik datang bak tanpa putus. Saat kabar buruk datang bertubi-tubi pun, masih ada alasan untuk tetap tersenyum, walau senyum itu kadang terlihat getir.
Alhasil, selalu ada cara berekspresi yang mampu menghibur sekaligus memberikan masukan konstruktif. Dari meme lucu di media sosial, candaan khas obrolan warung kopi, sampai bendera dari serial animasi, semuanya telah menunjukkan, seberapa cerdas dan tangguhnya orang Indonesia, dalam menghadapi situasi paling panas atau absurd sekalipun.
ARTJOG 2025, Sebuah Ruang Lintas Batas
Memang, ragam ekspresi yang ada kadang terlihat absurd. Ada juga yang bersuara terlalu "keras" atau menyampaikan pesan secara frontal. Dalam konteks budaya Timur, gaya berekspresi seperti ini kadang dianggap tidak sesuai, karena dirasa sebagian pihak kurang sopan.
Meski begitu, kalau dicermati lagi, ragam ekspresi di Indonesia (dalam konteks kekinian) adalah hasil fenomena alamiah sebab-akibat dan aksi-reaksi. Kalau kata peribahasa, "tak ada asap tanpa ada api".
Terbukti, beragam kegaduhan di masyarakat, antara lain akibat kualitas komunikasi kebijakan publik yang belum optimal, dan beragam kasus korupsi, selalu sukses menghasilkan respon meriah di dunia nyata. Sebuah bukti nyata, dari seberapa jauh dampak perjalanan selama 80 tahun bagi sebuah bangsa.
Meski masih ada kekurangan di sana-sini, kemampuan berekspresi masyarakat indonesia telah menjadi satu kekuatan unik, dan semakin unik di era media sosial seperti sekarang. Ia bertumbuh melalui satu proses perjalanan panjang, dan ditempa sampai menjadi kuat, lewat beragam dinamika situasi.
Terbukti, dengan kata kunci "viral" saja, seseorang bisa menjadi kisah from zero to hero maupun from hero to zero dalam waktu singkat. Pada titik ekstrem, hadir juga frasa satir no viral, no justice, yang turut membantu perbaikan kualitas penegakan hukum di Indonesia.
Mendaki Gunung, Lain Dulu, Lain Sekarang
Mengingat potensi dampaknya begitu besar di masyarakat, sudah saatnya kemampuan berekspresi di media sosial tidak lagi dilihat sebagai satu masalah. Inilah satu kekuatan era modern yang layak dimanfaatkan untuk tujuan positif.
Dalam konteks kekinian, media sosial juga sudah berkembang menjadi satu alat perjuangan modern. Ruang lingkupnya pun lebih luas, karena semua orang yang bisa mengakses Internet bisa ikut serta, apapun latar belakangnya.
Dengan modernitas yang terus berkembang di berbagai aspek kehidupan masyarakat, dinamikanya pun akan semakin kompleks. Tantangan yang datang pun tak hanya datang dari dalam negeri, tapi juga dari situasi global, yang belakangan cukup panas-dingin.
Otomatis, pendekatan lebih adaptif perlu dibangun, supaya perkembangan saat ini masih akan berlanjut menjadi kemajuan, bukan kemunduran. Dari kemampuan berekspresi masyarakat, dan daya tahan yang sejauh ini sudah terbentuk, mencapai kemajuan di masa depan seharusnya bukan harapan kosong.
Selebihnya, tinggal bagaimana potensi itu bisa disadari dan dimanfaatkan (dalam konteks positif). Jadi, Indonesia Emas di tahun 2045 tidak berakhir menjadi sebuah jargon program, tapi menjadi titik penting perjalanan bangsa di masa depan.
Semoga!
#80CeritaBaikIndonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News