Delapan puluh tahun lalu, bangsa ini berdiri dengan lantang menyatakan dirinya merdeka. Sebuah kemerdekaan yang lahir dari darah dan air mata, dari doa yang tak pernah putus, dari keyakinan bahwa bangsa ini berhak berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Di tanah Sunda, Sumedang Larang menyimpan jejak kebesaran sejarah yang tak lekang oleh waktu. Di balik bukit dan lembahnya, masih terpatri kisah tentang kejayaan Sunda Pajajaran, kerajaan besar yang pernah menjadi simbol kebanggaan orang Sunda. Pajajaran berdiri bukan hanya dengan kekuatan militernya, tetapi dengan kebijaksanaan pemimpinnya, dengan filosofi silih asah, silih asih, silih asuh yang memuliakan persaudaraan dan gotong royong. Dari Pajajaran kita belajar, bahwa kekuasaan tanpa kearifan hanyalah bayang semu; sejatinya kemuliaan terletak pada kemampuan menjaga martabat dan melindungi rakyat.
Ketika masa Pajajaran berakhir, Sumedang Larang mengambil alih panji-panji kebesaran itu. Prabu Geusan Ulun berdiri sebagai penerus, menjaga warisan, sekaligus menyalakan kembali api semangat agar tatar Sunda tidak kehilangan jati diri. Sejarah ini memberi pesan abadi: bahwa peradaban boleh berganti, tetapi spirit kebesaran harus terus diwariskan. Bahwa di dalam diri orang Sunda, dan dalam diri bangsa Indonesia, selalu ada keberanian untuk bangkit, selalu ada tekad untuk menjaga kehormatan.
Semangat itu tidak padam ketika zaman berganti. Menjelang abad ke-20, ketika penjajahan masih mencengkeram, putra-putri Sumedang dan tanah Sunda bangkit memberi kontribusi bagi perjuangan bangsa. Kita mengenang Pangeran Kornel (Koesoemahdinata IX), Bupati Sumedang yang gagah berani menentang ketidakadilan kolonial, hingga dikenal dengan kisah heroik yang diabadikan sebagai monumen di Cadas Pangeran. Sosok ini menjadi simbol keberanian menghadapi penjajah tanpa gentar.
Kita juga mengingat Otto Iskandar di Nata, pejuang bangsa yang darah Sunda-nya menyala di setiap langkah perjuangan. Ia bukan hanya politisi, melainkan pejuang sejati yang ikut merumuskan dasar-dasar Indonesia merdeka, dan akhirnya gugur sebagai pahlawan revolusi. Dari Sumedang pula lahir para pejuang lokal, tokoh pemuda, ulama, hingga santri yang ikut mengangkat senjata dalam pertempuran rakyat, dari Bandung Lautan Api hingga perlawanan di pedesaan.
Baca Selengkapnya