heboh heboh royalti musik masyarakat bersedia membayar tapi maunya pakai cara ini - News | Good News From Indonesia 2025

Heboh-heboh Royalti Musik: Masyarakat Bersedia Membayar, tapi Maunya Pakai Cara Ini

Heboh-heboh Royalti Musik: Masyarakat Bersedia Membayar, tapi Maunya Pakai Cara Ini
images info

Isu mengenai royalti musik sedang memanas. Masyarakat bersedia keluar duit untuk membayar royalti, tetapi tidak lewat perantara, melainkan langsung.

Isu royalti musik ramai diperbincangkan belakangan ini, apalagi setelah 29 musisi mengajukan gugatan uji materi Undang-undang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan royalti. Isu ini kemudkan makin panas setelah pengelola restoran Mie Gacoan di Bali harus berurusan dengan hukum karena memutar lagu tanpa membayar royalti.

Sejumlah musisi pun telah angkat bicara ke publik. Ahmad Dhani misalnya, menyatakan bahwa lagu-lagu Dewa 19 dapat diputar secara gratis di kafe maupun restoran tanpa perlu membayar royalti, lalu ada Ade Govinda yang menegaskan bahwa memutar musik di area komersial berarti wajib membayar royalti.

Buntutnya, banyak restoran dan kafe kini tak lagi memutar musik. Ada yang beralih memutar suara alam agar suasana tetap hidup, ada pula yang membiarkan tempat usahanya hening.

Lantas, bagaimana tanggapan publik sendiri?

Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedaikopi) melakukan survei opini publik mengenai hak cipta dan manajemen royalti pada musik dan lagu. Survei dilakukan pada Kamis (27/3/2025) hingga (4/4/2025) terhadap 1.065 responden dengan Computer Assisted Self Interview (CASI) yang disebarkan melalui media sosial.

Hasilnya, 80,1% responden bersedia membayar untuk musik-musik yang diputar dalam kafe. Responden siap merogoh kocek lebih dalam saat nongkrong di kafe jika pencipta lagu dan penyanyi bisa menerima royalti secara adil. 

Sementara itu, hanya sedikit responden yang tidak setuju akan adanya biaya tambahan terkait royalti musik yang diputar. Angkanya hanya 19,9%.

Secara regulasi, pemerintah telah menegaskan pemutaran musik di ruang publik lewat Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Tempat seperti kafe, toko,dan hotel wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait. 

Kewajiban membayar royalti tetap berlaku kendati pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify dan YouTube Premium. Pemerintah melihat bahwa langganan aplikasi seperti demikian merupakan hal yang bersifat pribadi dan karenanya tidak mencakup hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik.

“Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah,” ujar Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Kementerian Hukum RI, Agung Damarsasongko, dalam keterangan tertulis.

Masyarakat Mau Bayar, tapi Tak Lewat LMKN

Menurut aturan, pembayaran royalti musik di Indonesia dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. 

LMKN sendiri adalah lembaga yang berwenang untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak lagu dan/atau musik. Pelaku usaha dapat mendaftarkan usahanya kepada LMKN dan membayar royalti sesuai klasifikasi usaha dan luas ruang pemutaran musik.
 
“Namun tujuan Indonesia bukan untuk menambah pemasukan negara, melainkan memberikan kepastian hukum serta memastikan bahwa pelaku industri kreatif mendapatkan hak ekonominya secara adil,” tambah Agung.

Ternyata, hasil survei juga menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat lebih suka membayar royalti secara langsung (direct licensing) alih-alih menggunakan perantara. Tercatat 85,3% responden menyatakan setuju sistem direct licensing diterapkan, dengan catatan pemilik hak perlu menciptakan sistem pengelolaan mandiri yang memadai.

Survei yang sama juga menyoroti seberapa tinggi kepuasan publik terhadap kinerja LMKN. Pengukuran kepuasan dilakukan dengan rentang skor 0-10, 0 berarti tidak tahu, 1 berarti sangat buruk dan 10 berarti sangat baik.

Hasilnya 62,7% responden menyatakan puas dengan skor rata-rata 6,75 yang bermakna “agak puas” dengan kinerja LMKN.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Aulli Atmam lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Aulli Atmam.

AA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.