Hari Gajah Sedunia (World Elephant Day) diperingati setiap tanggal 12 Agustus setiap tahunnya. Hari ini didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran global tentang ancaman yang dihadapi oleh gajah di seluruh dunia, termasuk perburuan liar, hilangnya habitat, dan perdagangan ilegal.
Hari Gajah Sedunia pertama kali diinisiasi pada tahun 2012 oleh dua orang aktivis lingkungan, Patricia Sims dan Michael Clark, bersama dengan Elephant Reintroduction Foundation di Thailand. Sejak itu, kampanye ini telah mendapatkan dukungan dari berbagai organisasi lingkungan, pemerintah, dan masyarakat di seluruh dunia.
Sejarah dan Latar Belakang Hari Gajah Sedunia
Gajah telah menjadi salah satu hewan paling ikonik di dunia, namun populasinya terus menurun akibat aktivitas manusia. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), gajah Afrika dikategorikan sebagai "rentan" (Vulnerable), sementara gajah Asia berstatus "terancam punah" (Endangered). Ancaman utama meliputi perburuan untuk diambil gadingnya, konflik dengan manusia, serta deforestasi yang menghancurkan habitat alami mereka.
Hari Gajah Sedunia muncul sebagai respons terhadap krisis ini. Dengan memanfaatkan media sosial dan kampanye global, para aktivis berupaya mengedukasi masyarakat tentang pentingnya melindungi gajah. Berbagai kegiatan seperti seminar, pameran, dan program adopsi gajah digelar untuk mendukung upaya konservasi.
Gajah Asli Indonesia: Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan
Indonesia merupakan rumah bagi dua subspesies gajah Asia, yaitu Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis). Keduanya memiliki perbedaan morfologi dan ekologi yang signifikan.
Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus)
Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan subspesies endemik gajah Asia yang hanya dapat ditemukan di Pulau Sumatera. Dibandingkan kerabat Asia lainnya, gajah Sumatera memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil namun tetap mengesankan, dengan tinggi berkisar antara 2-3,5 meter dan berat mencapai 2.000-4.000 kilogram.
Secara morfologi, mereka memiliki beberapa karakteristik pembeda yang menarik. Telinganya yang relatif kecil jika dibandingkan dengan gajah Afrika, tampak proporsional dengan ukuran tubuhnya yang lebih kompak.
Ciri seksual dimorfik yang mencolok terlihat pada gading - hanya individu jantan yang mengembangkan gading, sementara betina biasanya tidak memilikinya atau hanya memiliki gading kecil yang tersembunyi.
Belalainya yang terlihat lebih pendek ternyata memiliki kekuatan luar biasa, memungkinkannya menjangkau dan memanen berbagai jenis vegetasi hutan Sumatera yang menjadi makanannya. Adaptasi fisik ini berkembang sebagai respons terhadap lingkungan habitatnya yang didominasi hutan hujan tropis yang lebat.
Populasi Gajah Sumatera terus menurun akibat perambahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan perburuan liar. Menurut WWF Indonesia, diperkirakan hanya tersisa sekitar 1.000-1.500 ekor di alam liar.
Baca juga Tak Hanya Gajah, Sederet Hewan Ini Juga Punya Telinga Jumbo
Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis)
Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis), yang sering disebut Gajah Pygmy Borneo, merupakan subspesies terkecil dari gajah Asia. Ukurannya lebih mungil dibandingkan kerabat Sumatera, dengan tinggi hanya sekitar 2–2,5 meter dan berat antara 1.500–3.000 kg.
Meski bertubuh kecil, gajah ini memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya, seperti postur yang lebih gemuk, ekor yang relatif lebih panjang, serta telinga yang lebih lebar dan wajah yang bulat.
Selain perbedaan fisik, Gajah Kalimantan juga dikenal memiliki temperamen yang lebih tenang dibandingkan Gajah Sumatera. Perilaku ini mungkin berkaitan dengan adaptasinya terhadap lingkungan hutan Borneo yang lebat dan relatif lebih terisolasi.
Sayangnya, populasi mereka terus menurun akibat hilangnya habitat dan fragmentasi hutan, menjadikan upaya konservasi semakin mendesak untuk dilakukan. Populasi Gajah Kalimantan diperkirakan hanya sekitar 1.000-1.500 ekor, dengan ancaman utama berupa fragmentasi habitat akibat pertambangan dan perkebunan.
Gajah Hewan yang Dilindungi
Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Selain itu, IUCN memasukkan Gajah Sumatera dalam status "Sangat Terancam Punah" (Critically Endangered) dan Gajah Kalimantan sebagai "Terancam Punah" (Endangered).
Menyambut Hari Gajah Sedunia, Prof. Burhanuddin Masyud, pakar konservasi satwa liar dari IPB University, menekankan pentingnya upaya mitigasi yang efektif. Seruan ini semakin relevan setelah insiden tragis anak gajah mati tertabrak truk di Malaysia (11/5) dan kasus serupa di Tol Pekanbaru–Dumai, Indonesia.
Kedua kejadian ini menunjukkan betapa tingginya risiko akibat tumpang tindih antara habitat gajah dan aktivitas manusia. Gajah memiliki ikatan sosial yang kuat, terutama antara induk dan anaknya.
"Respons induk gajah yang menyerang truk setelah anaknya tertabrak menunjukkan insting perlindungan alami yang tinggi. Ini membuktikan bahwa gajah bukan hanya cerdas, tetapi juga sangat emosional," jelas Prof. Burhanuddin, dikutip dari IPB Today.
Oleh karena itu, pendekatan konservasi harus mempertimbangkan aspek perilaku alami gajah sekaligus mengurangi potensi konflik dengan manusia. Salah satu solusi yang diusulkan adalah pendekatan koeksistensi, di mana manusia dan gajah dapat hidup berdampingan tanpa saling mengancam.
Selain itu, pembangunan terowongan lintasan gajah di tol tersebut menjadi contoh nyata mitigasi konflik yang dapat direplikasi di wilayah lain, seperti di jalan lintas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Lampung-Bengkulu).
Hasil penelitian disertasi salah satu mahasiswa bimbingan Prof. Burhanuddin di Aceh menunjukkan bahwa masyarakat dapat mengurangi konflik dengan memilih tanaman perkebunan yang tidak disukai gajah.
"Secara budaya, kerusakan tanaman oleh gajah kadang dianggap sebagai 'amal sholeh', selama tidak menimbulkan kerugian ekonomi besar. Namun, dengan pemilihan tanaman yang tepat, risiko ini bisa diminimalkan," jelasnya.
"Konservasi tidak boleh berdiri sendiri. Kita harus menyeimbangkan pembangunan dan perlindungan alam melalui pendekatan kolaboratif dan inovatif," tegasnya. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan populasi gajah Sumatera yang kritis dapat diselamatkan sekaligus mengurangi konflik dengan manusia di masa depan.
Baca juga Gajah si “Pencinta Kuliner” di Dunia Hewan, Suka Gonta-ganti Menu Makanan!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News