Bukhi Prima Putri adalah praktisi hidup minim sampah yang saat ini menjalani slow living di Prawirotaman, Yogyakarta. Sosoknya menarik karena ia menawarkan perspektif unik dan mendalam di tengah tren global tentang gaya hidup berkelanjutan (sustainable living).
Bagi Bukhi sebuah langkah penting mesti diambil banyak orang untuk kembali ke kearifan lokal yang memiliki kedekatan dengan alam. Karena dari situ ia meyakini fondasi utama untuk hidup lebih harmonis akan tercipta bersama kesederhanaan tanpa merusak lingkungan sekitar.
Mengurangi, menggunakan kembali, dan terus-menerus mendaur ulang. Itulah ciri-ciri dari gaya hidup berkelanjutan demi generasi mendatang yang lebih baik. Dan menurut Bukhi, prinsip ini teramat penting untuk nasib bumi yang bergantung besar dengan kesadaran manusia yang menghuninya.
Dalam kesehariannya, Bukhi dekat dengan kegiatan pendokumentasian resep makanan lewat entitas Bhumi Bhuvana. Pengetahuan demi pengetahuan perihal kuliner pun diresapinya yang membuatnya mengenal lebih dalam soal cita rasa masakan Indonesia.
Adapun satu hal menarik diungkapkan Bukhi mengenai kuliner Indonesia. Menurutnya, kuliner Indonesia yang kaya sampai tak bisa dibuat pakem, kenapa ya?
Pakem Kuliner Indonesia
Banyak negara memiliki pakemnya tersendiri saat sedang meracik masakan khasnya. Ambil contoh spageti ala Italia. Orang Italia sudah punya pakemnya saat memasak masakan khasnya itu bahwa haram hukumnya spageti dihancurkan sebelum dimasukan ke wadah berisi air rebusan.
Di Indonesia sendiri lain karena proses masaknya yang lebih luwes, tidak manut pada pakem tertentu. Menurut Bukhi, orang Indonesia terbiasa memasak sesuai dengan apa yang ada di sekitarnya sehingga hasilnya tidak melulu sama walau tetap kaya cita rasa.
“Aku melihatnya Indonesia tuh luar biasa kaya saking kayanya udah enggak bisa dibuat pakem lagi. Contoh lodeh di rumah sama lodeh di rumah tetangga aja udah beda. Bahannya beda tergantung dari yang ada di belakang rumah atau dalam kulkas,” kata Bukhi kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Bukhi paham kekayaan kuliner Indonesia berakar dari sikap orang Indonesia yang welcome menerima kultur memasak dari bangsa lain. Sikap ini pun dilihatnya bisa menjadi tantangan khususnya dalam mendokumentasikan dan menetapkan pakem agar lebih muda diturunkan ke generasi selanjutnya.
“Kita butuh segala sesuatu yang dipakemin supaya bisa diturunkan lebih mudah. Tapi kita juga butuh untuk inovasi sebagai penanda zamannya. Jadi antara preservasi budaya dan inovasi itu harus berjalan beriringan,” ucapnya.
Nasib Bumi
Sebelum membahas kuliner, Bukhi membicarakan soal kegelisahannya terhadap sampah di bumi. Menurutnya butuh kesadaran akan dampak terhadap bumi ketika membeli sandang dan pangan dalam keseharian.
“Baju-baju yang kita pakai itu bisa juga dari baju-baju sebelumnya. Kita enggak pernah sadar bahwa baju yang kita pakai, beli, punya dampak terhadap lingkungan. Kemudian pangan. Kadang kita makan enggak sadar kita beli udah instan dibikinnya, nutrisnya berkurang, prosesnya panjang, nutrisi enggak banyak terus berdampak dari proses pembuatannya, distribusinya, atau muali dari hulunya sendiri. Eksploitasinya besar-besaran, pengorbanan dialami oleh bumi kita semakin besar,” kata Bukhi.
Bukhi sejatinya sadar bumi memiliki caranya sendiri menyembuhkan diri dari luka-luka yang diberikan manusia lewat perilaku kesehariannya. Namun, ia mencoba mengingatkan bahwa kerusakan akan tetap ada jika masih banyak yang alpa menjaga bumi sebagai tempat untuk dihuni kini dan nanti.
“Karena sebetulnya bumi kita ini sangat mudah untuk meregenerasi kan. Sangat mudah untuk mengembalikan atau menyembuhkan diri sendiri, tapi ketamakan atau kesadaran kita itu akhirnya membuat kelihatannya jadi semakin rusak,” ungkap Bhuki.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News