Desa Rembul, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah kini memiliki solusi cerdas untuk menghadapi ketidakpastian cuaca yang sering menjadi tantangan utama para petani.
Melalui program Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN-T) Inovasi IPB University tahun 2025, sekelompok mahasiswa menghadirkan sebuah inovasi berbasis digital berupa website prakiraan cuaca spesifik desa yang dipadukan dengan rekomendasi kegiatan pertanian.
Inovasi ini merupakan bagian dari upaya mewujudkan pertanian presisi di tingkat desa yang lebih inklusif dan adaptif terhadap perubahan iklim.
Tim KKN IPB yang berasal dari kelompok TEGALKAB10 telah berhasil mengembangkan dan mensosialisasikan penggunaan website ini kepada masyarakat Rembul, terutama kalangan petani yang selama ini sangat bergantung pada pola cuaca dalam menjalankan aktivitasnya.
Cuaca: Teman atau Tantangan?
Kawan GNFI tentu memahami bahwa cuaca adalah faktor yang sangat menentukan keberhasilan dalam pertanian. Sayangnya, prakiraan cuaca yang tersedia saat ini sebagian besar berskala kabupaten atau provinsi, sehingga sering kali tidak cukup akurat untuk kebutuhan lokal seperti di Desa Rembul.
Kondisi ini membuat banyak petani mengandalkan insting, kebiasaan, atau sekadar “menebak” kapan waktu terbaik untuk menanam, memupuk, hingga memanen. Metode tersebut tidak lagi cukup dalam situasi iklim yang semakin tidak menentu seperti saat ini.
Website Prakiraan Cuaca Berbasis Data BMKG dan AI
Melihat permasalahan tersebut, tim mahasiswa KKN IPB berinisiatif mengembangkan sebuah website prakiraan cuaca lokal yang menyediakan informasi untuk tiga hari ke depan, diperbarui setiap tiga jam, berdasarkan data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG, 2025). Hal yang membuat inovasi ini lebih menarik adalah fitur saran kegiatan pertanian berbasis Artificial Intelligence (AI) yang terintegrasi di dalamnya.
Saran tersebut didesain untuk membantu petani dalam mengambil keputusan harian, seperti kapan sebaiknya menyiram, menanam, atau menunda aktivitas di lahan saat risiko hujan tinggi. Teknologi AI yang digunakan merujuk pada data historis, tren cuaca lokal, dan kebiasaan budidaya tanaman di wilayah tersebut.
Melalui penggunaan sistem antarmuka yang sederhana dan akses terbuka melalui perangkat ponsel atau komputer, petani dapat lebih mudah merencanakan aktivitas mereka. Bahkan dalam kondisi cuaca ekstrem, mereka bisa bersikap lebih antisipatif.
Partisipasi Petani sebagai Kunci
Keberhasilan implementasi teknologi ini tidak lepas dari pendekatan partisipatif yang dilakukan oleh tim KKN IPB. Sebelum peluncuran, dilakukan wawancara dan diskusi kelompok bersama para petani untuk memahami kebutuhan dan kebiasaan mereka dalam mengakses informasi cuaca. Hasilnya, sistem disesuaikan agar mudah digunakan oleh berbagai usia dan latar belakang pendidikan.
Pada sesi wawancara, petani menyampaikan bahwa cuaca yang semakin sulit diprediksi sering kali menjadi penyebab utama menurunnya hasil panen. “Sekarang cuaca susah ditebak, pagi panas, sore bisa hujan deras. Kalau salah waktu tanam atau semprot, hasilnya bisa rusak semua,” ungkap Pak Umam (38), Ketua Kelompok Suhada Tani. Kondisi seperti ini, menurut mereka, membuat kegiatan bertani penuh ketidakpastian.
Oleh karena itu, kehadiran website prakiraan cuaca ini disambut dengan antusias. Para petani berharap inovasi ini bisa menjadi alat bantu dalam mengambil keputusan di lapangan. “Adanya informasi cuaca yang jelas dan saran kegiatan itu penting sekali. Biar kita nggak kerja asal-asalan, dan hasil panen bisa lebih baik,” lanjutnya.
Setelah website diluncurkan, dilakukan sosialisasi melalui forum kelompok tani. Tim KKN IPB juga menyediakan tutorial penggunaan website baik secara cetak maupun digital, serta membuka ruang konsultasi melalui grup WhatsApp. Upaya ini dilakukan agar teknologi yang dikembangkan tidak hanya menjadi “produk jadi”, tetapi benar-benar digunakan dan memberi dampak positif dalam kehidupan sehari-hari petani.
Arah Selanjutnya
Setelah program KKN selesai, tim mahasiswa IPB berharap website ini dapat dikelola oleh pihak Pemerintah Desa atau kelompok tani muda agar terus berlanjut dan berkembang. Harapannya, Desa Rembul bisa menjadi percontohan bagi desa-desa lain yang ingin mengembangkan sistem serupa sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing.
Melalui semangat gotong royong dan dukungan teknologi, para petani kini punya senjata baru untuk membaca “bahasa langit” dan menata pertanian yang lebih adaptif, produktif, dan berkelanjutan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News