Saya sejak kecil mendengar, membaca buku sejarah bagaimana perjuangan ulama dan rakyat Aceh melawan Belanda, membaca sejarah masuknya agama Islam di Aceh sampai-sampai dijuluki sebagai Serambi Mekah. Saya tentu menelusuri sejarah tokoh-tokoh besar Aceh, ada ratu, ada ulama, ada panglima wanita pertama di Indonesia pada zaman peperangan melawan penjajah dulu, dsb. Saya juga mendengar di satu kawasan di Provinsi Aceh ini ada wanita-wanita cantik keturunan Portugis; mereka itu keturunan bangsa Portugis yang masuk ke Aceh dan Malaka sebelum masuknya penjajah Belanda. Saya juga tentu mengikuti pergolakan politik, militer tokoh-tokoh Aceh yang tidak puas dengan pemerintahan pusat Indonesia, mengikuti berita tsunami, dsb.
Dalam bidang ekonomi, semua tahu kalau Aceh itu adalah provinsi yang kaya raya akan sumber daya alam, terutama gas alam. Pada tahun 1985, saya mengikuti program dari Kantor Perdana Menteri Jepang di mana saya dan sebagian delegasi dijamu oleh kantor pemerintahan yang mengurusi sistem jaringan listrik di kota besar Tokyo—tepatnya di kawasan Shinjuku yang penuh dengan gedung pencakar langit. Pihak tuan rumah menjelaskan sistem jaringan listrik di Tokyo dan mengakui kalau impor besar-besaran LNG dari Aceh, Indonesia, sebagai sumber tenaga pembangkit listrik.
"Kalau tidak ada Aceh maka seluruh penerangan di Tokyo padam," begitu kata pejabat yang menerima kami.
Semua yang saya dengar, pelajari, dan pengalaman saya di Tokyo itu merupakan bahan pembicaraan yang berat dan melelahkan, tidak entertaining—kata anak Gen Z.
Lalu, saya tiba-tiba menerima berita dan bahan pembicaraan yang menyenangkan atau entertaining tadi dari Bu Yurnalis Usma, seorang wanita Aceh—junior saya ketika mengikuti Program Pertukaran Pemuda ASEAN-Jepang (Ship For Southeast Asian and Japan Youth Program) tahun 1982. Saat itu dia masih mahasiswi, sementara saya sudah bekerja di kantor pemerintah. Dik Yurnalis, kalau tidak salah, sudah purnatugas sebagai dosen Universitas Syiah Kuala Aceh.
Dik Yur—begitu saya memanggilnya—men-share video pendek seorang ustaz yang membicarakan keunikan Aceh. Beliau menjelaskan di Aceh, apa pun status sosialnya—seorang pemimpin atau rakyat jelata—selalu melakukan kewajiban minum kopi pada waktu pagi. Setelah melaksanakan ibadah salat subuh, membaca zikir, lalu mereka menuju warung-warung kopi untuk minum kopi hangat yang berserakan di kota Aceh. Menariknya, kata ustaz, warung-warung kopi itu memiliki segmentasi karakter atau minat para pengunjung/peminum kopi; ada warung kopi yang pengunjungnya mengobrol tentang politik dan ada pula warung yang penikmat kopinya membicarakan masalah ekonomi. Sang ustaz ini bahkan mengutip kata-kata terkenal pahlawan nasional Aceh Tengku Umar, "Esok kita minum kopi di kedai Meulaboh atau esok saya syahid."—"Kopi dan jihad," kata Pak Ustaz.
"Ayo ke Aceh, Mas," begitu Dik Yurnalis mengundang saya ke Aceh untuk minum kopi sambil berkata, "Suamiku penikmat kopi, setiap pagi habis salat subuh dan halaqah pengajian, ngumpul bareng dan ngopi di belakang kedai kopi, di halaman Masjid Ulee Kareng, area saya tinggal." Lalu, Dik Yur mengirim foto seperti di atas dengan kalimat di bawahnya, "Parte wajib ngopi tiap pagi..." dengan gambar emoji tertawa.
Aceh, wilayah indah yang terletak di ujung utara Sumatra, Indonesia, tidak hanya terkenal dengan pemandangannya yang menakjubkan, tetapi juga karena budaya kopinya yang unik. Masyarakat Aceh memiliki hubungan yang mengakar dengan kopi, menjadikannya bagian integral dari kehidupan sehari-hari mereka.
Sumber AI menyebutkan, "Budaya minum kopi di warung Aceh merupakan bagian penting dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya, bahkan Aceh dijuluki 'Negeri Seribu Warung Kopi' karena banyaknya kedai kopi yang tersebar di berbagai wilayah, terutama di daerah pesisir. Tradisi minum kopi ini tidak hanya sekadar mengonsumsi minuman, tetapi juga menjadi ajang silaturahmi, diskusi, dan bahkan tempat untuk memulai aktivitas sehari-hari."
Wah, itu tentu pemandangan budaya khas Aceh yang menarik bagi siapa pun yang datang ke Aceh.
Saya berdoa pada Allah SWT agar diberi kemudahan untuk memenuhi undangan Dik Yurnalis Usman ke Aceh untuk minum kopi. Lalu, saya bayangkan nanti sesampainya di Aceh, saya akan memilih warung atau kedai kopi Aceh yang pengunjungnya mengobrol khusus tentang politik. Siapa tahu di kedai kopi Aceh ini saya nanti mendapatkan jawaban atas pertanyaan, "Kenapa seorang yang tidak memiliki latar belakang ekonomi atau bisnis, akuntansi, cash flow, neraca, risk management, misalkan seorang penyanyi, bisa menjadi Komisaris sebuah Perusahaan Milik Negara yang gajinya bisa mencapai Rp1,5 miliar lebih sebulan?"
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News