Di tengah deru kota dan panas aspal jalanan, terkadang kita melihat seekor monyet kecil digiring dengan rantai, mengenakan pakaian boneka, dipaksa berdiri di atas sepeda mini, bahkan disuruh berjoget mengikuti irama musik yang asing baginya.
Pertunjukan topeng monyet, yang dulu mungkin dianggap lucu dan menghibur, kini tampak seperti potret eksploitasi paling telanjang atas makhluk hidup yang tak bisa bersuara.
Ya, mereka adalah makhluk hidup. Bukan properti, alat cari uang, dan objek hiburan.
Seperti manusia, hewan, termasuk monyet, memiliki sistem saraf, yang bisa merasakan sakit, takut, lapar, dan stres. Sayangnya, rasa empati kita kerap lumpuh oleh tradisi dan ketidaktahuan.
Padahal yang kita saksikan bukanlah keterampilan, melainkan hasil dari ketakutan dan penderitaan yang ditanamkan lewat kekerasan selama pelatihan.
Di Balik Tawa, ada Rantai dan Siksaan
Monyet-monyet yang digunakan dalam pertunjukan ini, sebagian besar ditangkap dari alam liar. Bayi monyet dipisahkan dari induknya, lalu dikurung, dan dilatih dengan kekerasan agar patuh.
Metode pelatihannya pun tidak manusiawi, seperti dipukul, diikat, dibuat kelaparan, bahkan diberi perlakuan menyakitkan agar tunduk.
Semua ini dilakukan demi menciptakan “hiburan”. Sebuah hiburan yang bagi penontonnya hanya berlangsung beberapa menit. Namun bagi si monyet, ini berarti masa hidup yang penuh siksaan. Kondisi hidup mereka jauh dari layak.
Seniman Topeng Monyet di Madiun Serahkan 23 Kera ke Balai Konservasi untuk Dilepasliarkan
Banyak yang dipelihara dalam kandang sempit, dengan rantai di leher sepanjang waktu. Tanpa perhatian medis, makanan bergizi, atau interaksi sosial sebagaimana naluri alami mereka sebagai primata sosial.
Bukan Cuma Kejam, tapi Juga Berbahaya
Yang jarang disadari oleh masyarakat adalah bahwa monyet bisa menggigit, terutama saat mereka stres, takut, atau merasa terancam, kondisi yang sangat mungkin terjadi dalam keramaian jalanan. Dan gigitan monyet bukanlah luka biasa.
Mereka berpotensi menularkan penyakit zoonosis, penyakit yang berpindah dari hewan ke manusia. Beberapa di antaranya bisa sangat serius, atau bahkan mematikan, seperti:
- Virus Herpes B, virus yang tidak berbahaya bagi monyet, tetapi bisa menyebabkan infeksi otak serius pada manusia.
- Rabies, penyakit mematikan yang menyerang sistem saraf dan menyebar lewat gigitan.
- Cacar monyet (monkeypox), biasanya ditandai dengan demam dan ruam, dan bisa menular lewat kontak kulit.
- TBC dan Hepatitis, yang bisa menyebar di lingkungan kotor dan lewat kontak langsung.
Resiko ini seharusnya menjadi alarm tambahan yang menunjukan bahwa pertunjukan seperti ini tidak hanya melukai hewan. Namun, juga berbahaya bagi manusia, terutama anak-anak yang sering menjadi penonton dan bahkan berinteraksi langsung.
Perlindungan yang Tak Menyelamatkan
Hukum di Indonesia sebenarnya cukup tegas dalam hal perlindungan hewan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 memuat larangan terhadap penangkapan dan pemeliharaan satwa liar secara ilegal, termasuk monyet, melalui ketentuan dalam Pasal 21 ayat (2).
Selain itu, KUHP Pasal 302 juga mengatur larangan perlakuan kejam terhadap hewan, lengkap dengan ancaman pidana bagi pelanggarnya.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan turut memperkuat perlindungan terhadap hewan dalam praktik sehari-hari.
Begitu pula dengan Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 Pasal 66 hingga 69 yang secara eksplisit menekankan pentingnya kesejahteraan hewan dan pelarangan segala bentuk perlakuan yang menyebabkan penderitaan, baik fisik maupun mental.
Realitas Pahit di Balik Topeng Monyet sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Hewan
Meski tidak semua spesies monyet termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, mereka tetap tergolong sebagai satwa liar yang tidak boleh dieksploitasi tanpa izin.
Namun, tanpa penegakan hukum yang konsisten dan kesadaran publik yang nyata, semua itu hanya akan menjadi teks mati di atas kertas.
Melanggengkan Kekerasan Atas Nama Hiburan
Beberapa daerah seperti Jakarta dan Bandung sempat melarang topeng monyet. Razia dilakukan dan monyet-monyet diserahkan ke pusat rehabilitasi satwa liar, dengan dukungan organisasi seperti Jakarta Animal Aid Network (JAAN). Namun, praktik ini masih marak terjadi di berbagai wilayah karena minimnya pengawasan dan lemahnya hukuman.
Pertunjukan semacam ini bukan hanya menyiksa hewan, tetapi juga menanamkan nilai yang keliru pada anak-anak. Ketika kekerasan ditampilkan sebagai hiburan, empati pun tergerus sejak dini.
Anak-anak yang terbiasa menertawakan penderitaan akan tumbuh tanpa kepekaan terhadap sesama makhluk hidup. Kita sering lupa bahwa makhluk hidup bukan hanya manusia, tetapi juga hewan, bahkan tumbuhan.
Mereka semua merasakan dampak dari perlakuan kita. Membiarkan anak menonton atraksi seperti ini berarti membenarkan penyiksaan sebagai sesuatu yang lumrah dan menghibur.
Waktunya Berpihak pada yang Tak Bisa Bersuara
Topeng monyet bukan tradisi, bukan budaya yang patut dilestarikan, dan jelas bukan hiburan yang layak. Di balik kostum mungil dan gerakan lucu yang dipertontonkan di jalanan, tersembunyi penderitaan, penyiksaan, dan potensi bahaya yang nyata, baik bagi hewannya, maupun bagi manusia di sekitarnya.
Sudah saatnya kita berhenti menjadi penonton dari penderitaan yang dibungkus hiburan. Menertawakan makhluk hidup yang dipaksa bertingkah demi recehan bukan hanya mencederai rasa kemanusiaan, tetapi juga memberi contoh keliru bagi anak-anak yang menyerap nilai dari apa yang mereka lihat.
Menghibur tak pernah harus menyiksa. Tertawa tak semestinya dibangun di atas luka makhluk lain. Bila kita benar menyebut diri makhluk berakal, maka sudah seharusnya kita berpihak pada welas asih, bukan kekejaman yang dibungkus ketidaktahuan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News