Dalam pandangan sebagian masyarakat di Jawa, bulan Suro menjadi waktu yang pantang untuk seseorang melakukan pernikahan. Sebab, ada kepercayaan akan terjadi malapetaka di dalam rumah tangga.
Namun sebetulnya, bagaimana kebenaran hukumnya?
Kalender Jawa vs Kalender Hijriyah
Penulis mengatakan bulan Suro bukan bulan Muharam, karena keduanya berbeda. Di sini yang perlu diluruskan kepercayaan yang masih keliru adalah kalender Jawa itu bukan versi Jawa-nya kalender Hijriah. Keduanya berbeda.
Kalender Jawa disusun dengan tujuan menyelaraskan perayaan adat dengan perayaan Islam, sedangkan kalender hijriah disusun demi kemudahan umat Islam dalam beribadah.
Kacamata Sebagian Masyarakat Jawa Kejawen tentang Pantangan Menikah di bulan Suro
"Tidak boleh menikah di bulan Suro ini. Malapetaka! Setor nyawa!" Nasihat nenek penulis.
Jauh dari keyakinan beliau—yang mungkin juga sama seperti keyakinan sebagian orang tua lain soal larangan menikah di bulan Suro—ada beberapa kalangan masyarakat Jawa kejawen yang berpedoman pada Kitab Primbon. Mengatakan bahwa menikah di bulan Suro tidak mengapa. Asalkan tidak menikah pada tanggal-tanggal yang menjadi pantangan.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa antarkalangan masyarakat Jawa Kejawen juga berbeda. Namun, sama-sama meyakini larangan menikah di bulan Suro agar tidak 'berbahaya'.
Adanya keyakinan tersebut diduga karena tidak sedikit kejadian di masa lalu, ketika mereka menikah di bulan ini, berakhir kandas hingga melayangkan nyawa.
Masyarakat yang berpegang pada adat tidak berani melanggar nasihat turun-temurun ini. Meskipun, pada kenyataannya tidak tahu pasti apakah berhubungan.
Kacamata Islam mengenai Pantangan Menikah di bulan Suro
Islam sendiri memandang bulan Suro adalah bulan mulia, sebab bertepatan dengan bulan Muharam.
Bulan Muharam adalah salah satu dari 4 bulan haram, yang mana menjadi bulan yang diharamkan peperangan karena kemuliaannya. Dengan demikian, bulan ini memiliki nilai lebih tinggi daripada lainnya.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Bakrah, “Sesungguhnya zaman telah kembali seperti keadaannya pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan yang haram: Tiga bulan berturut-turut, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, serta (yang keempat adalah) Rajab Mudhar...”
Mengingat bahwa bulan Muharam adalah bulan mulia, maka ketika seorang Muslim melakukan ketaatan di bulan ini, maka Allah membalasnya dengan balasan pahala yang lebih besar daripada yang lainnya.
Begitu pula dengan kemaksiatan. Apabila seorang Muslim melakukan kemaksiatan di bulan istimewa ini, maka dosanya juga lebih besar dari pada dosa yang ia ciptakan di selain bulan mulia.
Menikah merupakan salah satu sunnah Rasulullah. Sehingga apabila seseorang menikah karena mengikuti sunnah Rasulullah, maka sejatinya dia sedang menjalankan ketaatan kepada Allah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
"Menikah itu adalah sunnahku. Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan dari golonganku." (HR. Ibnu Majah)
Nah, menikah merupakan ibadah. Apabila menikah di bulan Muharam, maka sudah pasti mendapatkan pahala yang lebih besar dari pada menikah di bulan selain bulan istimewa. Hal ini berarti bahwa tidak ada larangan menikah di bulan Suro dalam Islam.
Kebolehan menikah di bulan Muharam ini diperkuat oleh penjelasan Habib Muhammad Muthohar dalam kajian singkat NU Online, bahwa nasib baik dan buruk seseorang datangnya dari Allah.
Apabila meyakini datangnya dari selain Allah, maka imannya keropos bahkan bisa berdampak pada murtad atau keluar dari agama Islam.
Dari kebenaran yang kita dapat, sudah bisa kita peroleh jawaban. Sebenarnya menikah di bulan Suro diperbolehkan atau dilarang?
Setiap orang memiliki hak kebebasan dalam meyakini keyakinannya mau mengikuti keyakinan adat setempat atau mengikuti keyakinan agamanya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News