Di ujung selatan Pulau Sulawesi, terdapat sebuah desa pesisir kecil bernama Tana Beru. Di sinilah lahir salah satu warisan budaya maritim paling mengagumkan dari Indonesia: kapal Pinisi.
Lebih dari sekadar alat transportasi, Pinisi merupakan simbol kejayaan pelaut Bugis-Makassar yang telah menjelajahi lautan sejak abad ke-14.
Desa ini menjadi pusat keahlian pembuatan kapal tradisional, tempat warisan pengetahuan turun-temurun dipertahankan secara konsisten hingga kini.
Tana Beru dalam Lintasan Sejarah Maritim Bugis-Makassar
Tana Beru, yang terletak di Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, merupakan bagian dari jalur maritim penting sejak era pra-kolonial. Komunitas Bugis dan Makassar dikenal sebagai pelaut ulung yang mengarungi samudra hingga ke Australia utara, Kepulauan Maluku, dan bahkan Madagaskar. Mereka tidak hanya berdagang, tapi juga menetap di berbagai wilayah pesisir, menyebarkan budaya dan bahasa mereka.
Kapal Pinisi menjadi tulang punggung pelayaran ini. Bukti historis sepertiLontara, catatan kuno masyarakat Bugis menggambarkan peran Pinisi dalam menyatukan perdagangan antarpulau. Jejak mereka juga tercatat dalam log pelaut Belanda dan Inggris, yang kagum terhadap kapal kayu buatan tangan ini yang mampu menghadapi badai Samudra Hindia.
Pembuatan Kapal Pinisi: Teknologi Tanpa Cetak Biru
Tana Beru unik bukan hanya karena hasil akhirnya, kapal Pinisi yang gagah tetapi juga proses pembuatannya yang penuh filosofi dan ketekunan. Setiap kapal dibangun tanpa cetak biru atau skema tertulis.
Desain sepenuhnya diingat dan diterjemahkan oleh Punggawa, yaitu master builder yang memimpin tim pengrajin kayu. Punggawa memulai proses dengan upacara Appasili, ritual untuk meminta keselamatan kepada roh laut sebelum memasang lunas kapal (tulang punggung kapal).
Baca Juga: Perahu Phinisi Budaya Sulsel Yang Mendunia
Kayu-kayu yang digunakan, seperti ulin, bitti, dan jati lokal, dipilih secara ketat dan dikeringkan alami selama berminggu-minggu. Proses pengerjaan memanfaatkan alat tradisional seperti tatah, palu kayu, dan gergaji tangan.
Semua sambungan antar papan dikunci dengan pasak kayu, bukan paku besi menunjukkan kekuatan konstruksi berbasis teknik lokal yang telah teruji ratusan tahun.
Filosofi, Struktur Sosial, dan Simbol dalam Pinisi
Kapal Pinisi bukan hanya objek fungsional, tetapi mengandung filosofi mendalam. Dua tiang layar utama melambangkan dua kalimat syahadat, dan tujuh layar lainnya merepresentasikan jumlah ayat dalam surah Al-Fatihah. Selain itu, ornamen ukiran dan bentuk lunas kapal mencerminkan nilai spiritual dan adat.
Dari sisi sosial, sistem kerja di galangan kapal bersifat kolektif dan berbasis keluarga. Anak-anak belajar langsung dari ayah atau paman mereka melalui praktik harian, membangun rasa tanggung jawab, ketekunan, dan ikatan komunitas. Ini menciptakan struktur sosial unik di Tana Beru, di mana status dan kehormatan diperoleh melalui keahlian, bukan harta.
Transformasi Modern dan Tantangan Pelestarian
Dalam dua dekade terakhir, kapal Pinisi telah bertransformasi menjadi ikon wisata dan diplomasi budaya Indonesia. Banyak kapal mewah berbasis desain Pinisi kini digunakan sebagai liveaboard diving, restoran terapung, atau yacht pribadi di Raja Ampat dan Labuan Bajo. Bahkan, pemilik kapal dari Eropa dan Timur Tengah memesan langsung dari Tana Beru.
Namun, tantangan baru muncul. Ketersediaan kayu keras mulai menipis, dan galangan menghadapi tekanan antara permintaan pasar dan pelestarian lingkungan. Untuk itu, sejumlah komunitas pengrajin kini mulai menggunakan kayu legal dan mengikuti program reboisasi.
Di sisi lain, pengakuan UNESCO pada tahun 2017 terhadap Pinisi sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia memberikan dorongan baru untuk mempertahankan tradisi ini secara berkelanjutan.
Baca Juga: Booth Pinisi Indonesia Meraih Dua Penghargaan di Vietnam
Tana Beru bukan sekadar desa di pinggir laut, ia adalah benteng terakhir dari peradaban maritim Nusantara. Di sanalah kayu-kayu sederhana disulap menjadi kapal penjelajah dunia, dengan tangan-tangan ahli yang mewarisi keahlian sejak zaman leluhur.
Dalam setiap Pinisi yang berlayar, terbawa serta cerita tentang kearifan, keuletan, dan cinta terhadap laut yang tak lekang oleh waktu.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News