“Apa AI akan punya cara memahami rasa?” Begitu isi pikiranku sekaligus kegelisahanku saat memikirkan potensi kecerdasan buatan (AI). AI memiliki segudang potensi luar biasa yang bisa kita gunakan dalam banyak bidang, termasuk di sektor kesehatan mental. Bahkan, ketika meninjau puisi, dia bisa merespon “Puisi kamu sudah bagus sekali”.
Aku yakin, ke depannya AI akan semakin maju dan semakin mampu mengenali emosi. Tetapi, apakah AI benar-benar bisa merasakan emosi dan memahami perasaan?
Rasa itu Personal
Tanpa disadari, merasakan dan memahami saling berkaitan. Biasanya, kita paham apa yang seseorang rasakan di saat kita sudah pernah merasakannya.
Trigger itulah yang kita sebut pola. Pola-pola yang kita alami memunculkan rasa tertentu, sifatnya kontekstual tergantung situasi yang kita alami. Contoh, kita bahagia karena melihat teman kita sukses ataupun berhasil mencapai sesuatu. Kenyataannya, ada banyak trigger yang menghasilkan berbagai macam rasa.
Rasa sendiri memiliki makna yang mendalam. Ayu Utami dalam Anatomi Rasa (2019), menyebutkan kalau rasa bersifat subyektif. Ia tidak terlihat. Rasa memiliki tiga lapisan, yaitu rasa inderawi, emosi, dan kebatinan. Rasa bekerja dengan memancar, mengalir, dan lain sebagainya. Rasa bersifat personal dan bisa menular.
Artinya, rasa merupakan suatu konsep yang dalam dan kompleks. Rasa merupakan pengalaman personal yang bisa dirasakan di momen-momen yang menstimulus munculnya perasaan tersebut. Pernahkah kawan merasakan kebahagiaan teman? Ya, itulah rasa. Ia bersifat personal dan menular, dalam arti positif maupun negatif.
Lalu, bisakah AI yang tak punya pengalaman hidup ini memahami kompleksitas rasa manusia?
Memahami Pola Tanpa Hati
Setelah memahami rasa, mari kita kembali ke pertanyaan awal: apakah AI bisa memahami emosi manusia? Model AI pada dasarnya bekerja berdasarkan data yang dilatih, baik data statis maupun dinamis. Makin besar jumlah data yang dimasukkan dan dilatih, kemampuannya akan semakin meningkat.
Romeo & Testolin (2025) menemukan bahwa pada model bahasa besar (LLM), model tersebut berperilaku layaknya memahami emosi manusia. Hal ini karena kemampuan model AI memproses berbagai format data, mulai dari teks hingga gambar. Alhasil, perilaku yang ditunjukkan merupakan akibat dari kemampuan model AI mencerna data yang diterima.
Di samping itu, mengutip Live Sciene, menurut Nauman Jaffar, founder dan CEO CliniScripts, sistem AI bagus dalam hal pengenalan pola. Apalagi jika isyarat emosional tersebut mengikuti pola seperti yang tergambar dalam ekspresi wajah atau sinyal linguistik.
Pola-pola yang telah sistem AI pelajari inilah yang menjadi modal kuat untuk bisa memahami emosi manusia.
Schlegel et al., (2025) melakukan penelitian untuk membandingkan respon yang diberikan model AI dan manusia dalam tes kecerdasan emosional. Hasilnya, model AI yang diuji coba memilih respons yang "benar" dalam tes kecerdasan emosional sebanyak 81%, berdasarkan pendapat para ahli manusia, dibandingkan dengan 56% untuk manusia.
Bagaimanapun, skor yang tinggi tidak menjadi bukti bahwa AI memiliki kesadaran subjektif. Model AI hanya mampu menerjemahkan pola dari data yang dimiliki. Meski AI bisa menciptakan simulasi respon empatik, tetapi itu tidak sama dengan pengalaman sejati. Model AI tidak mengalami deg-degan, gagap atau kalut ketika salah berucap atau berperilaku di depan orang yang kita suka.
Artinya, dari sisi reaksi, mengutip Anatomi Rasa, rasa emosi punya stimulan yang subyektif dan psikologis, tapi juga menyisakan gejala-gejala obyektif pada tubuh. Sehingga, ketika merasakan sesuatu, indra-indra kita merespon emosi yang kita rasakan.
Bagaimana dengan sistem AI? Sistem AI mungkin bisa mengenali pola emosi yang kita rasakan, tetapi tidak mampu merasakan sensasi psikologis seperti manusia.
Kita Tetaplah Ahlinya
Model AI seperti ChatGPT mungkin bisa menuliskan kata-kata bijak dan positif, dan menenangkan. Hal itu membuat kita merasa lebih baik dan lebih termotivasi. Namun demikian, ketika bicara soal rasa yang ada di dalam hati, hanya manusia yang bisa melakukannya.
Hal ini karena manusia adalah makhluk yang memiliki lapisan kedalaman rasa. Kedalaman rasa ini lahir dari pengalaman, cerita, buku yang kita baca, dan orang yang kita jumpai.
Beberapa ahli berpendapat bahwa AI akan memiliki kesadaran dalam hal mengalami dunia. Akan tetapi, fakta bahwa rasa lebih bersifat psikologis dibandingkan rasional menunjukkan bahwa sistem AI tidak akan bisa merasakan emosi layaknya manusia. Menurutku itu hal yang tepat karena seharusnya hanya kita, manusia, yang menjadi satu-satunya praktisi tentang rasa.
Pada akhirnya, seperti kata Profesor Jan Bonhoeffer dari Universitas Basel dalam Psychology Today, bahwa yang membuat kita benar-benar terhubung bukanlah seberapa cepat koneksi atau seberapa canggih teknologi yang kita gunakan. Tapi justru kehangatan yang kita hadirkan, keberadaan kita yang tulus, dan bahasa tanpa kata yang membuat orang merasa dilihat dan didengarkan sepenuhnya.
Teknologi boleh semakin canggih. AI bisa semakin cerdas. Tetapi rasa tetap milik kita. Mari menjaga ruang empati, kasih sayang, dan kehangatan agar dunia tetap menjadi tempat yang manusiawi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News