Terbunuhnya dr. Marwan Al-Sultan, Direktur Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Gaza, bersama keluarganya akibat serangan udara Israel pada 2 Juli 2025, bukan hanya luka mendalam bagi rakyat Palestina. Tragedi ini sekaligus menelanjangi rapuhnya perlindungan hukum humaniter internasional saat pelanggarnya adalah negara dengan kekuatan militer besar. Dunia yang kerap berkoar soal kemanusiaan, kembali membisu ketika hukum diinjak-injak.
RSI bukan sekadar rumah sakit, melainkan simbol nyata solidaritas rakyat Indonesia untuk Palestina yang berdiri dari sumbangan publik, menjadi tumpuan ribuan pasien Gaza di tengah blokade dan kehancuran. Sejak diresmikan pada 2016, RSI telah menunjukkan bahwa kemanusiaan tak mengenal batas negara. Sayangnya, simbol ini justru dijadikan target, menegaskan bahwa perang modern tak segan menjadikan fasilitas kesehatan sebagai senjata politik.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap terjadinya lebih dari 1.000 serangan terhadap fasilitas medis dalam lima tahun terakhir, mulai dari Suriah, Yaman, Sudan, hingga Palestina. Tiap serangan bukan hanya melukai tubuh korban, tetapi juga menghancurkan keyakinan bahwa Konvensi Jenewa masih punya kuasa. Padahal, Pasal 18 Konvensi Jenewa IV dengan tegas menyebut rumah sakit dan tenaga medis harus dilindungi. Namun, berulang kali hukum ini diabaikan tanpa konsekuensi berarti.
Tragedi RSI memperlihatkan kegagalan sistem internasional menegakkan hukum saat pelanggaran dilakukan negara berpengaruh. Jika hukum hanya berlaku bagi yang lemah, nilai universal Konvensi Jenewa tinggal retorika kosong.
Indonesia sudah menyatakan kecaman diplomatik, namun itu belum cukup. Sebagai bangsa yang berpengalaman dalam diplomasi damai, Indonesia mesti berani memimpin langkah konkret, yaitu menggalang negara-negara OKI, ASEAN, dan G77 untuk menuntut investigasi independen oleh lembaga kredibel seperti Komite Palang Merah Internasional (ICRC), agar hasilnya bisa membawa para pelaku ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Mengapa ini mendesak? Dunia sedang tergelincir ke era di mana target sipil kembali dianggap instrumen sah untuk mematahkan moral lawan. Kekerasan struktural semacam ini bukan hanya merenggut nyawa, tapi juga memecah kohesi sosial lintas generasi.
Ironisnya, tragedi ini terjadi di saat para pemimpin dunia terus mendengungkan komitmen Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), termasuk target cakupan kesehatan semesta (UHC) pada 2030. Bagaimana akses kesehatan bisa terwujud jika rumah sakit di zona konflik dibombardir tanpa pertanggungjawaban?
Kita patut mengapresiasi keberanian dr. Marwan dan tim RSI yang tetap memilih tinggal di Gaza demi merawat pasien, meski sadar nyawa mereka terancam. Gugurnya seorang dokter di medan tugas akibat serangan bukan hanya tragedi personal, melainkan alarm bagi dunia. Istilahnya, “Siapa yang akan merawat korban perang jika tenaga medis tak dijamin keselamatannya?”
Tragedi RSI harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk menegaskan peran sebagai motor diplomasi kemanusiaan. Solidaritas tanpa batas bukan hanya ditunjukkan dengan membangun rumah sakit di zona konflik, tetapi melalui keberanian menuntut keadilan ketika rumah sakit itu dihancurkan.
Hari ini kita harus bersuara lantang, rumah sakit bukan medan perang. Kemanusiaan tidak boleh tunduk pada kekerasan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.