Konflik antara Iran dan Israel dinilai sangat berpotensi mengganggu stabilitas kawasan dan dunia secara luas. Ditambah lagi, konflik ini juga melibatkan isu strategis, salah satunya terkait kepemilikan senjata nuklir.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), Drs. Muhadi Sugiono, M.A., menjelaskan bahwa konflik Iran dan Israel merupakan salah satu ketegangan paling mengkhawatirkan di kawasan Timur Tengah karena berkaitan langsung dengan kepemilikan dan penggunaan senjata nuklir.
“Konflik ini sangat spesifik karena menyentuh isu nuklir. Sejak 1967, dunia telah berupaya keras agar senjata nuklir tidak dimiliki oleh negara-negara selain lima negara resmi pemilik senjata nuklir dalam perjanjian Non-Proliferation Treaty (NPT). Namun, kini situasi berubah ketika Iran dituduh melanggar ketentuan dengan meningkatkan pengayaan uranium hingga 60 persen,” jelasnya dalam ugm.ac.id.
Dalam penjelasannya, serangan Israel terhadap Iran terjadi saat Badan Energi Atom Internasional (IAEA) merilis pernyataan jika Iran tidak mematuhi komitmen NPT di tengah proses negosiasi nuklir yang tengah berlangsung antara Iran dan Amerika Serikat. Muhadi menyebut bahwa Iran menjadi target karena dianggap memiliki potensi nuklir yang serius.
“Jadi konflik ini merupakan konflik strategis tersendiri. Israel selalu ingin menjadi satu-satunya negara di kawasan yang memiliki senjata nuklir. Serangan ke berbagai target nuklir di Timur Tengah oleh Israel selama dua dekade terakhir menunjukkan obsesi ini. Iran menjadi target karena dianggap memiliki potensi nuklir yang serius, terutama dengan dukungan teknologi dari Rusia,” imbuhnya.
Melihat Posisi Indonesia di Tengah Pusaran Konflik Iran-Israel
Muhadi menilai bahwa Indonesia dalam pusaran konflik Iran-Israel belum memiliki strategi global yang jelas dalam menghadapi isu-isu geopolitik yang tengah terjadi. Apalagi, dengan prinsip bebas aktif yang dianut, Indonesia cenderung dianggap “mencari aman” dalam menyikapinya.
“Politik luar negeri kita cenderung sebagai safe player, kita selama ini berusaha menjaga jarak, tidak ikut campur, namun juga ingin berperan dalam perdamaian. Permasalahannya, kita belum punya kapasitas nyata untuk mencampuri konflik semacam ini,” papar akademisi sekaligus anggota Organisasi International Campaign to Abolish Nuclear Weapon (ICAN) tersebut.
Eskalasi Konflik Iran-Israel Kian Memanas, RI Ingatkan Hal Ini
Hal senada disampaikan oleh Sosiolog sekaligus peneliti senior Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Dr. Muhammad Najib Azca, M.A. Menurut Najib, saat ini Indonesia berada dalam situasi global yang penuh ketidakpastian dan berisiko tinggi. Hal ini berpengaruh pada pencapaian target-target pembangunan nasional, salah satunya terkait stabilitas pangan.
Indonesia Harus Aktif Berdiplomasi
Dalam keterangannya, Muhadi mendorong agar Indonesia memanfaatkan forum-forum internasional, utamanya yang berkaitan dengan NPT untuk memperjuangkan penerapan perjanjian itu tanpa tebang pilih.
Di sisi lain, Najib turut menyatakan jika Indonesia disebutnya perlu memperjelas posisi politik luar negerinya agar tidak terseret dalam skenario politik global, seperti yang dirancang oleh Amerika Serikat melalui konsep “New Middle East”.
Najib menilai kehadiran Presiden Prabowo dalam forum internasional di Rusia beberapa waktu lalu—yang bebarengan dengan pertemuan G7 di Kanada—menjadi sinyal penting dari cara Indonesia untuk menjaga jarak dari dominasi satu blok kekuatan global. Najib menyebut bahwa Indonesia masih tetap berkomitmen pada prinsip bebas aktifnya.
“Menurut saya itu merupakan gestur internasional yang penting, menandakan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada prinsip bebas aktif dan terbuka untuk menjalin kerja sama dengan berbagai pihak,” katanya.
Lebih dari itu, Najib ikut mendorong Indonesia untuk tidak hanya mempertahankan prinsip bebas aktif, tetapi juga memperkuat diplomasi dan memperjuangkan perdamaian yang berlandaskan keadilan dan kesetaraan di panggung dunia.
“Tanpa penyelesaian damai, konflik ini berisiko terus berlanjut dan mengancam stabilitas dunia. Indonesia harus lebih proaktif dan berani dalam memainkan peran diplomasi global,” pungkasnya.
Senjata, Sanksi, dan Simpati: Konflik Iran–Israel dalam Kacamata Milenial Indonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News