sutikno dan yudis bamboo kerajinan bambu dari gunungkidul untuk indonesia - News | Good News From Indonesia 2025

Sutikno dan Yudis Bamboo, Kerajinan Bambu dari Gunungkidul untuk Indonesia

Sutikno dan Yudis Bamboo, Kerajinan Bambu dari Gunungkidul untuk Indonesia
images info

Sepasang suami istri tampak asyik bercengkrama sambil menata tumpukan caping di teras rumah. Caping-caping yang terbuat dari bambu tersebut bukan buatan tangan mereka, melainkan dari warga sekitar di Kaliwaru.

Padukuhan Kaliwaru yang terletak di Kapanewon Ngawen, Gunungkidul, DI Yogyakarta ini memang dikenal dengan kampung wisata dengan kerajinan bambu sebagai ciri khasnya. Masyarakat Kaliwaru menjual caping-caping tersebut sebagai kerajinan sekaligus oleh-oleh khas Kaliwaru.

Nah, pasangan inilah yang sejak dulu dipercaya untuk mengelola dan menyalurkan caping-caping tersebut untuk kemudian diperjualbelikan di pasar.

Pasangan suami istri tersebut dikenal dengan sapaan Pak Tikno dan Bu Tikno. Biasanya, mereka juga terlihat aktif pada acara keagamaan di Pura Podo Wenang, Padukuhan Kaliwaru.

Pak Tikno dikenal sebagai pemangku agama Hindu, istilah untuk ulama atau kiai di agama Islam.

Ketika disambangi di kediamannya, Pak Tikno yang sedang mengobrol dengan istrinya segera bangkit dan menyapa kami. Beliau lantas memamerkan kerajinan tangan buatannya. Terlihat beberapa tumpukan tas wanita dari bambu, dompet, keranjang buah, kotak tisu, hingga kap lampu yang terpajang berjejer di ruang tengah rumah Pak Tikno.

Melihat benda-benda yang pembuatannya lebih rumit itu, seketika caping jadi kurang menarik.

Rumah Pak Tikno memiliki ruang tamu kecil yang seperti sengaja dibiarkan kosong. Hanya ada beberapa kursi, akuarium, dan sound system kecil. Kata Pak Tikno, beliau dan istrinya suka mengerjakan kerajinan di sana sambil memutar musik.

Ruang kecil tersebut dari luar tampak seperti studio. Tak lupa sedikit ornamen hiasan dari kayu dan bambu yang diletakkan di sudut-sudut ruangan. Membuat studio kecil Pak Tikno ini terasa lebih “bambu” dari bagian mana pun di rumahnya.

Ada sebuah kisah tersembunyi dan inspiratif tentang ketekunan dan dedikasi keluarga Pak Tikno di balik sebilah bambu yang mereka tekuni, yakni tentang kepedulian sosial.

Pak Sutikno, seorang pengrajin bambu yang telah bertahan selama lebih dari dua dekade, bukan hanya pengrajin biasa. Beliau adalah simbol kegigihan yang menghidupkan kembali nilai-nilai tradisi melalui anyaman bambu, sekaligus membangun kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya.

Sejak tahun 1999, Pak Sutikno memulai perjalanan yang sama dengan pengrajin lainnya di Kaliwaru, yakni dengan menganyam caping — topi tradisional yang biasa digunakan oleh para petani. Namun, beliau tak ingin kecakapan tangannya berhenti sampai di situ.

Beliau mengaku melihat potensi besar dalam kerajinan bambu dan bertekad untuk menjadikannya lebih dari sekadar kerajinan sederhana. Dengan tekad bulat, beliau akhirnya mulai mengembangkan berbagai produk anyaman seperti kap lampu, tas, dompet, wakul, hingga saringan teh dan kopi. Kreativitasnya dalam mengolah bambu sudah tidak diragukan lagi.

Pak Tikno telah berhasil mengangkat citra kerajinan tradisional ke tingkat nasional. Terbukti dengan berbagai undangan yang beliau terima untuk berbagi wawasan dalam seminar dan pelatihan.

“Waktu itu pernah diundang ke Bandung sama Kementerian ESDM. Terus yang paling jauh itu pernah saya diundang ke Medan sama Belitung. Nggak nyangka saya bisa jalan-jalan naik pesawat.” Pak Tikno tak kuasa menyembunyikan rasa senang. Ia dengan bangga menunjukkan beberapa sertifikat yang diperolehnya dari Dewan Kerajinan Nasional.

Bagi Pak Sutikno, keberhasilan pribadi bukanlah tujuan akhir. Beliau ingin lebih dari itu, yakni membangun kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Dengan niat yang tulus untuk membantu perekonomian warga, beliau membentuk kelompok pengrajin yang diberi nama Karya Bambu, sebuah komunitas yang bertujuan untuk memberdayakan para pengrajin bambu di Kaliwaru.

Melalui kelompok ini, beliau berbagi ilmu, keterampilan, serta semangat pantang menyerah kepada masyarakat agar warisan budaya ini tetap lestari. Untuk produk buatan pribadi, Pak Tikno memberi nama usaha kerajinannya dengan Yudhistira Bambu.

Menurut cerita Pak Sutikno, nama Yudhistira pada Yudis Bamboo diambil dari nama anak semata wayangnya. Melansir dari Sorot Gunungkidul, komunitas berbasis industri rumahan ini setidaknya memiliki 30 anggota yang didominasi ibu rumah tangga.

Mereka akan bekerja keras memenuhi puncak tertinggi penjualan pada akhir tahun. Apalagi saat memasuki musim tanam, omzet penjualan caping meningkat tajam. Selain itu, menjelang Natal penjualan dompet juga meningkat.

Pasalnya dompet yang dibuat oleh kelompok Yudis Bamboo biasanya digunakan sebagai tempat souvenir ketika hari raya. 

Di samping kesibukannya sebagai pengrajin, Pak Sutikno juga dikenal oleh masyarakat sebagai tokoh keagamaan Hindu di sana. Peran penting ini membawanya lebih percaya diri dan yakin dapat menyebarluaskan pengaruh positif bagi masyarakat.

Tak heran jika masyarakat Kaliwaru menjadikannya sebagai sosok panutan yang dihormati dan diandalkan. Dengan kepeduliannya yang besar terhadap lingkungan sosial dan budaya, Pak Tikno telah merupa pahlawan lokal bagi Padukuhan Kaliwaru.

Ya, awalnya kan Bapak nggak ada bedanya sama pengrajin lain di sini. Cuma keinginan Bapak itu tadi, mau bikin bambu jadi sesuatu yang nggak biasa. Kalau caping kan sudah biasa. Di Kaliwaru sudah banyak yang bisa buat. Sekarang Bapak bisa bikin tas, jadi bisa ngajari warga lain di sini.”

Kali ini giliran sang istri bercerita, yang kemudian disambut dengan acungan jempol dari Pak Tikno. Pasangan suami istri yang suportif.

Kini, Pak Tikno dan istrinya telah menuai apa yang mereka tabur di masa lalu, dengan bekal keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Bisnis lokalnya kini telah membantu memberdayakan ibu-ibu rumah tangga di Kaliwaru dan melambungkan namanya sebagai pemangku agama, pebisnis ulung, bahkan instruktur nasional.

Selain memenuhi undangan konferensi, tak jarang Pak Tikno juga disibukkan dengan pesanan-pesanan kerajinan bambu, baik dari pabrik maupun perseorangan.

Cerita Pak Sutikno mengajarkan bahwa keahlian tradisional bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan di era modern. Justru dengan inovasi, keberanian untuk keluar dari zona nyaman, dan semangat berbagi, tradisi bisa tetap hidup dan memberikan manfaat bagi banyak orang.

Seperti anyaman bambu yang kuat karena saling direkatkan, begitu pula kehidupan akan lebih bermakna jika dijalin dengan kebersamaan dan ketulusan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.