Misi perdamaian PBB telah lama dikenal sebagai upaya internasional untuk menjaga stabilitas dan kemanusiaan di tengah konflik. Namun, realita tak selalu seindah idealisme.
Dalam beberapa tahun terakhir berbagai laporan menyebutkan adanya kasus eksploitasi dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum personel misi PBB di sejumlah negara konflik. Ini menjadi luka serius yang mencoreng misi kemanusiaan itu sendiri.
Berangkat dari kenyataan tersebut PBB merilis laporan berjudul Special Measures for Protection from Sexual Exploitation and Abuse (2021) menegaskan bahwa pendekatan nol toleransi terhadap eksploitasi seksual dalam seluruh operasi perdamaian dan bantuan kemanusiaan di bawah bendera PBB.
Apa Itu Eksploitasi dan Pelecehan Seksual (SEA)?
Dalam dokumen resmi PBB mengartikan bahwa eksploitasi seksual (sexual exploitation) sebagai penyalahgunaan posisi kekuasaan atau kepercayaan untuk keuntungan seksual termasuk pertukaran bantuan dengan hubungan intim.
Sementara itu, pelecehan seksual (sexual abuse) mencakup tindakan seksual yang memaksa, kasar, atau tidak dikehendaki, termasuk terhadap anak-anak.
SEA menjadi sangat sensitif karena sering terjadi di wilayah-wilayah rawan konflik di mana masyarakat sipil khususnya perempuan dan anak-anak—sudah berada dalam posisi yang sangat rentan.
Fakta dan Data Kasus Nyata di Lapangan
Sepanjang tahun 2021, tercatat 194 dugaan insiden eksploitasi dan pelecehan seksual yang melibatkan staf PBB dan organisasi mitranya. Dari jumlah itu sebagian besar terjadi di wilayah Afrika Tengah, Haiti, dan Republik Demokratik Kongo wilayah dengan kehadiran kuat pasukan penjaga perdamaian.
Laporan juga mencatat bahwa lebih dari 30% korban adalah anak di bawah umur dan dalam beberapa kasus, pelaku menawarkan makanan, uang, atau bantuan kemanusiaan sebagai imbalan untuk tindakan seksual.
Langkah Tegas PBB Hadapi SEA
PBB tidak menutup mata atas pelanggaran ini. Dalam laporan tersebut terdapat serangkaian langkah konkret yang diambil antara lain:
- Peningkatan sistem pelaporan yang aman dan mudah diakses korban termasuk melalui platform digital dan hotline di kamp pengungsian.
- Penerapan sanksi administratif dan pemecatan terhadap personel yang terbukti bersalah serta pelaporan ke otoritas hukum di negara asal pelaku.
- Transparansi data dan publikasi rutin tentang jumlah kasus, status investigasi dan langkah lanjutan sebagai bentuk akuntabilitas publik.
- Pembentukan Victim Rights Advocate (VRA) yaitu pejabat khusus yang bertugas memastikan pemenuhan hak-hak korban SEA dalam proses hukum dan rehabilitasi.
- Kolaborasi dengan LSM lokal dan komunitas untuk membangun kepercayaan dan membekali masyarakat soal hak mereka terhadap perlindungan.
Mengembalikan Kepercayaan pada Misi Kemanusiaan
Misi perdamaian seharusnya menjadi simbol harapan bukan ancaman. Karena itu, Sekretaris Jenderal PBB menegaskan bahwa pemberantasan SEA bukan sekadar urusan etik, tapi tanggung jawab institusional. PBB berkomitmen menjadikan perlindungan korban sebagai prioritas bukan hanya menyelesaikan kasus dengan pendekatan administratif semata.
Lebih jauh PBB juga mendorong negara-negara kontributor pasukan untuk menindak pelaku dengan hukum nasional karena PBB tidak memiliki yurisdiksi kriminal langsung atas mereka.
Pelajaran untuk Dunia (dan Indonesia)
Meskipun laporan ini ditujukan untuk skala global pesan yang dibawanya sangat relevan untuk Indonesia. Sebagai salah satu negara penyumbang pasukan perdamaian Indonesia juga harus memperkuat edukasi etik, pelatihan gender-sensitif, serta perlindungan korban dalam setiap misi luar negeri dan operasi domestik kemanusiaan.
Karena perdamaian sejati tidak cukup hanya dengan senjata dan pasukan, tapi juga dengan keadilan, kesetaraan, dan perlindungan terhadap yang paling rentan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News