Perubahan iklim sudah menjadi kenyataan yang kita rasakan bersama. Cuaca semakin tidak menentu, banjir dan kekeringan datang silih berganti, dan dampaknya terasa hingga ke rumah-rumah kita.
Di tengah semua itu, perempuan sering kali berada di garis depan menjaga keluarga, mengatur kebutuhan sehari-hari, dan bertahan dalam situasi sulit.
Namun, tahukah Kawan GNFI? Perempuan bukan hanya 'korban' dari perubahan iklim, mereka juga bagian penting dari solusinya.
Mengapa Perempuan Rentan terhadap Perubahan Iklim?
Perempuan dan perubahan iklim adalah dua hal yang memiliki hubungan erat dan kompleks. Di berbagai wilayah Indonesia, perempuan menjadi pihak yang paling terdampak dari bencana alam seperti banjir, kekeringan, hingga naiknya harga pangan akibat cuaca ekstrem.
Komnas Perempuan dalam laporan Lenting dalam Kegentingan (2024) menyebutkan bahwa perempuan kehilangan akses terhadap tanah, air bersih, dan sumber pangan sebagai dampak dari degradasi lingkungan.
Mereka juga menghadapi risiko lebih tinggi terhadap kekerasan berbasis gender dalam situasi konflik sumber daya atau pascabencana.
Namun, perempuan bukan sekadar korban. Ketahanan dan peran mereka dalam menjaga lingkungan menjadikan perempuan sebagai subjek penting dalam narasi perubahan iklim.
Perempuan Juga Bagian dari Solusi
Meski kerap menjadi kelompok paling terdampak, perempuan juga menjadi aktor penting dalam menghadapi krisis iklim. Mereka tidak hanya beradaptasi dengan situasi, tetapi juga mendorong lahirnya solusi berbasis komunitas yang berkelanjutan.
Mengenal Rahayu Oktaviani, Wanita Hebat Konservasionis Primata Owa Jawa
Salah satu contohnya datang dari Pasijah, seorang perempuan dari Desa Rejosari Senik, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Ia secara mandiri menanam hingga 15.000 pohon mangrove setiap tahun untuk mengurangi abrasi dan melindungi permukiman dari banjir rob. Aksi tersebut tidak hanya menyelamatkan wilayah pesisir, tetapi juga membuka jalan bagi perempuan lain di desanya untuk turut serta dalam konservasi lingkungan (Reuters, 2025).
Selain itu, Komnas Perempuan juga mencatat bahwa perempuan berperan aktif dalam membangun sistem ketahanan komunitas.
Melalui jaringan informal, kelompok ibu rumah tangga hingga komunitas adat, perempuan menginisiasi pelatihan kebencanaan, pengelolaan air bersih, hingga pertanian organik berbasis kearifan lokal.
Kehadiran perempuan dalam pengambilan keputusan iklim terbukti mampu memperkuat daya tahan lingkungan dan sosial. Maka, sudah sepatutnya mereka diberi ruang untuk memimpin, bukan hanya bertahan.
Mengapa Suara Perempuan Harus Didengar?
Perempuan memegang peran penting dalam mengelola sumber daya alam, menjaga ketahanan keluarga, dan membangun daya lenting komunitas. Namun, dalam banyak kebijakan terkait perubahan iklim, suara mereka justru kerap diabaikan.
Padahal, pengalaman perempuan dalam menghadapi krisis, dari mengatur logistik rumah tangga saat bencana, merawat lansia dan anak-anak, hingga mengelola lahan pertanian kecil adalah sumber pengetahuan yang sangat berharga.
Mereka tahu apa yang dibutuhkan, apa yang berhasil, dan apa yang gagal di lapangan.
Komnas Perempuan mencatat bahwa perempuan yang aktif memperjuangkan lingkungan sering kali justru berhadapan dengan kriminalisasi dan intimidasi, terutama dalam konteks konflik sumber daya alam. Dalam lima tahun terakhir, tercatat 58 pengaduan langsung terkait konflik SDA yang berdampak pada perempuan, termasuk ancaman terhadap keselamatan mereka (Komnas Perempuan, 2025).
Mengabaikan suara perempuan dalam perumusan kebijakan iklim bukan hanya persoalan ketimpangan, melainkan mengabaikan solusi.
Jika ingin kebijakan yang efektif dan inklusif, maka perempuan harus dilibatkan bukan sebagai pelengkap, tetapi sebagai pengambil keputusan utama.
Saatnya Mendengar dan Bertindak Bersama
Perubahan iklim bukan hanya masalah lingkungan ini adalah persoalan kemanusiaan dan keadilan sosial. Karena itu, solusi yang dibangun harus berbasis pada keberagaman suara, termasuk suara perempuan yang selama ini terlalu sering diabaikan.
Sudah saatnya pemerintah, sektor swasta, lembaga masyarakat, dan media menciptakan ruang aman dan inklusif. Dengan demikian, perempuan bisa terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan iklim mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi kebijakan.
Komnas Perempuan dalam pernyataan resminya (2025) mendorong negara untuk memastikan pelibatan perempuan dalam agenda kebijakan iklim, terutama pada kerangka Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Perubahan Iklim (RAN-API) dan dokumen lingkungan hidup daerah (DPLH). Sebab, tanpa keadilan gender, maka keadilan iklim hanyalah slogan kosong.
Kini saatnya kita bergerak bersama. Mengakui peran perempuan, melibatkan mereka dalam setiap tahap kebijakan, dan memastikan suara mereka tak lagi diabaikan. Karena dalam perjuangan melawan krisis iklim, keadilan hanya bisa terwujud jika semua suara didengar terutama suara perempuan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News