Di tengah ancaman perubahan iklim, penyusutan lahan pertanian, dan pertumbuhan populasi yang meningkatkan permintaan pangan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mencapai swasembada pangan.
Sebagai solusi, bioteknologi pertanian mulai mendapat perhatian, meski masih sering disalahpahami.
Melalui program edukasi "The Science Behind: Food Security", pada Kamis (19/6/2025), Bayer bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengajak publik melihat peran krusial bioteknologi dalam memperkuat ketahanan pangan nasional.
Bioteknologi: Solusi Strategis Hadapi Tantangan Pertanian
Prof. Bambang Prasetya, Peneliti BRIN, menegaskan bahwa bioteknologi adalah jawaban atas tantangan seperti gagal panen, perubahan iklim, dan serangan hama.
"Dengan pengembangan bertanggung jawab, teknologi ini bisa menciptakan sistem pangan yang tangguh dan berkelanjutan," ujarnya.
Sayangnya, Indonesia masih tertinggal 15-20 tahun dalam adopsi benih biotek dibanding negara tetangga. Kehadiran jagung bioteknologi, seperti DK95R, diharapkan bisa mengejar ketertinggalan ini.
Dari Riset ke Lapangan
Bayer, melalui Presiden Direktur Yuchen Li, menyatakan komitmennya mendorong transformasi pertanian dengan inovasi berbasis sains. Salah satu terobosannya adalah jagung DK95R, yang diluncurkan 2023.
Benih ini tahan herbisida, memungkinkan petani mengendalikan gulma tanpa merusak tanaman. Hasilnya? Produktivitas naik hingga 30% dengan biaya lebih efisien.
Woro Umayi Ananda dari Bayer menekankan bahwa produk bioteknologi mereka melewati proses pengembangan ketat selama 12-16 tahun, memastikan keamanan pangan dan lingkungan.
"Kami berkoordinasi dengan BRIN dan pemangku kepentingan untuk memastikan inovasi ini aman dan bermanfaat," jelasnya.
Baca juga Mengamati Ketahanan Sektor Pertanian Melalui NTP
Bukti Nyata di Lapangan
Bayer tak hanya berinovasi di laboratorium, tetapi juga mendorong adopsi teknologi di lapangan. Melalui program Better Life Farming (BLF), mereka menggandeng KADIN dan Kementerian Pertanian untuk menanam jagung biotek di 1.000 hektar lahan di NTT, NTB, dan Sulawesi Selatan.
Hasilnya, produktivitas rata-rata mencapai 8,3 ton/hektar, hampir dua kali lipat dibanding varietas konvensional. Bahkan di beberapa lokasi, seperti Sumbawa dan Dompu, hasil ubinan mencapai 13-15 ton/hektar—jauh di atas rata-rata nasional (4-5 ton/hektar).
Aditia Rusmawan dari Bayer menjelaskan, “Program ini menggunakan skema inclusive closed-loop, di mana petani dibina menggunakan benih DK95R, lalu hasil panen dibeli oleh mitra seperti PT Seger Agro Nusantara."
Salah satu petani, Hamzan Wadi, mengaku senang dengan adanya benih bioteknologi untuk pertaniannya. "Hasil panen meningkat, biaya turun, dan kami punya waktu lebih untuk keluarga,” ujarnya.
Demi Masa Depan Pertanian Indonesia
Keberhasilan program ini membuktikan bahwa bioteknologi, jika dikembangkan dengan tepat, mampu meningkatkan produktivitas, pendapatan petani, dan stabilitas pasokan pangan.
Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan akademisi menjadi kunci percepatan adopsi teknologi ini.
Sebagai bagian dari inisiatif The Science Behind, Bayer terus membuka ruang diskusi ilmiah untuk mendorong pemahaman publik tentang peran sains dalam ketahanan pangan.
Dengan langkah konkret dan bukti nyata, bioteknologi tak lagi perlu ditakuti—melainkan diadopsi sebagai solusi masa depan pertanian Indonesia.
Baca juga Universitas Indonesia Luncurkan Laboratorium Pusat Penelitian Bioteknologi Pertama di Indonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News