sekolah tanpa kelas - News | Good News From Indonesia 2025

Sekolah Tanpa Kelas, Apakah Sistem Pendidikan Masa Depan di Indonesia Perlu Berubah?

Sekolah Tanpa Kelas, Apakah Sistem Pendidikan Masa Depan di Indonesia Perlu Berubah?
images info

Di tengah arus perubahan zaman yang serba cepat, dunia pendidikan juga dituntut untuk beradaptasi. Salah satu wacana besar yang mulai banyak diperbincangkan adalah sistem “sekolah tanpa kelas”. Bukan berarti menghapus ruang belajar sepenuhnya, melainkan membongkar konsep tradisional di mana siswa dibatasi oleh jenjang dan usia.

Apakah model ini relevan diterapkan di Indonesia? Ataukah hanya sebatas tren global yang belum tentu cocok dengan kultur dan tantangan lokal?

Sekolah Tanpa Kelas: Apa Maksudnya?

Konsep sekolah tanpa kelas (non-graded school) merujuk pada sistem pendidikan di mana siswa tidak dikelompokkan berdasarkan usia atau jenjang kelas seperti SD, SMP, dan SMA. Sebaliknya, mereka belajar dalam kelompok fleksibel berdasarkan minat, kemampuan, dan kebutuhan masing-masing. Model ini memberikan ruang lebih besar bagi siswa untuk belajar secara mandiri, kolaboratif, dan tidak terpaku pada target akademik yang kaku.

Baca juga: Kebijakan untuk Ketiadaan Wisuda bagi Anak Sekolah, Bagaimana Dampaknya?

Menurut UNESCO dalam laporan Global Education Monitoring Report 2023, sistem pendidikan masa depan harus lebih fleksibel dan berpusat pada kebutuhan peserta didik. Salah satu pendekatan yang disarankan adalah pembelajaran lintas usia dan penilaian berbasis kompetensi, bukan sekadar nilai angka atau ujian.

Mengapa Model Ini Muncul?

Perubahan zaman membawa tantangan baru, teknologi berkembang pesat, informasi tersedia di ujung jari, dan pekerjaan masa depan menuntut keterampilan yang tidak diajarkan dalam sistem konvensional. Sekolah tradisional, dengan pola satu arah dan kurikulum seragam, mulai dianggap usang untuk mempersiapkan generasi masa depan.

Finlandia menjadi salah satu negara pelopor yang sukses menerapkan sistem pendidikan fleksibel. Siswa belajar lintas mata pelajaran, tidak ada ujian nasional, dan guru diberi kebebasan penuh menyusun metode ajar sesuai kebutuhan masing-masing. Hasilnya? Finlandia konsisten menempati peringkat atas dalam indeks kualitas pendidikan global.

Meskipun belum masif, pendekatan serupa mulai terlihat. Misalnya, Sekolah Cikal dan Sekolah Alam telah menerapkan model pembelajaran berbasis proyek, minat siswa, dan fleksibilitas dalam proses ajar. Praktisi pendidikan menyebut pentingnya peran guru sebagai fasilitator, bukan sekadar pengajar.

Tantangan Penerapan di Indonesia

Mengubah sistem pendidikan bukan perkara mudah. Ada beberapa tantangan besar yang harus diperhatikan:

  1. Kurikulum nasional yang seragam. Kurikulum Merdeka memang memberi ruang lebih fleksibel, namun standar nasional tetap menjadi acuan utama. Hal ini membatasi kebebasan guru dan sekolah untuk berinovasi.
  2. Kesenjangan fasilitas dan sumber daya manusia (SDM). Tidak semua sekolah di Indonesia memiliki akses ke teknologi, pelatihan guru, atau fasilitas pendukung pembelajaran fleksibel.
  3. Budaya belajar yang masih konvensional. Banyak orang tua masih menganggap nilai akademik sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan siswa.
  4. Penilaian dan evaluasi. Sistem penilaian nasional seperti Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) dan ujian akhir masih didesain untuk mengukur hasil belajar seragam, bukan perkembangan individu.

Potensi dan Peluang

Meski tantangannya besar, peluang untuk mengadopsi model sekolah tanpa kelas terbuka lebar. Terlebih di era digital saat ini, teknologi dapat menjadi pengungkit perubahan. Platform belajar daring, artificial intelligence (AI), dan data analitik memungkinkan pembelajaran yang lebih personal dan adaptif.

Menurut riset yang dirilis oleh Mckinsey & Company pada 2024, personalisasi pembelajaran berbasis teknologi mampu meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa hingga 30 persen dibanding sistem klasikal. Hal ini tentu menjadi angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia jika mampu dimanfaatkan secara tepat.

Pemerintah Indonesia melalui program Merdeka Belajar juga mulai menggeser pendekatan pembelajaran ke arah yang lebih berpusat pada siswa. Kurikulum Merdeka memberi ruang bagi pembelajaran tematik, lintas mata pelajaran, serta proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila. Ini bisa menjadi pintu masuk menuju sistem pendidikan yang lebih luwes dan tidak bergantung pada struktur kelas.

Sudah Siapkah Indonesia?

Apakah Indonesia siap meninggalkan sistem kelas tradisional? Jawabannya mungkin belum sepenuhnya. Namun, langkah-langkah kecil sedang dilakukan. Sekolah-sekolah berbasis komunitas, homeschooling, dan inklusi mulai membuka wacana akan pentingnya pendekatan yang lebih personal dalam mendidik anak.

Baca juga: PerpusG2S: Literasi Inklusif dari Sekolah untuk Pontianak

Kawan GNFI, perubahan besar memang tidak datang dalam semalam. Akan tetapi, dengan semangat gotong royong, kemauan berinovasi, dan dukungan teknologi, bukan tidak mungkin Indonesia menciptakan sistem pendidikan masa depan yang lebih relevan, inklusif, dan memberdayakan setiap anak.

Pada akhirnya, pendidikan bukan soal kelas dan nilai semata, tetapi bagaimana kita menumbuhkan manusia yang utuh dan siap menghadapi dunia yang terus berubah.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

WH
AF
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.