Adikarso menggapai ketenaran lewatlagu “Papaja Cha Cha”. Kiprah bermusiknya semakin kentara setelah lagu “Selamat Ulang Tahun” kian populer di telinga masyarakat berbagai kalangan.
Majalah musik Rolling Stone versi Indonesia memuat daftar lagu Indonesia terbaik sepanjang masa pada edisi ke-56 yang terbit pada Desember 2009. Dalam daftar itu, tersusunlah 150 lagu Indonesia dari 1950-an sampai yang termuda tahun 2000-an.
Dari banyaknya lagu, “Papaja Cha Cha” (terkadang dikenal dengan judul “Papaja Cha Cha Cha” atau “Papaya Mangga Pisang Jambu”) menjadi salah satu yang tertua dalam daftar, yakni dirilis pada 1957. Tingkat kepopuleran lagu tersebut pun sejajar dengan lagu terbaik era 1950-an lain yaitu “Sabda Alam” (Ismail Marzuki), “Nurlela” (Bing Slamet), “Bengawan Solo” (Oslan Husein & Teruna Ria), “Payung Fantasi” (Bing Slamet), dan “Ayam Den Lapeh” (Gumarang).
“Papaja Cha Cha” diciptakan sekaligus dinyanyikan oleh Adikarso, seorang musisi dari Kota Jember, Jawa Timur. Liriknya sederhana, hanya soal si buah manis pepaya yang harganya murah dan biasa dijumpai di pasar-pasar. Namun, dari lagu sederhana itulah nama Adikarso beserta lagunya tenar terutama di kalangan anak-anak.
Ingin Jadi Ahli Teknik
Adikarso dilahirkan di Jember pada zaman Belanda, yakni 25 Juni 1924. Ayahnya adalah buruh pabrik yang menggemari seni gamelan dan tari Jawa yang saat senggang kerap ikut dalam pertunjukan-pertunjukan amatir.
Bakat sang ayah dalam berkesenian lantas diwariskan ke Adikarso yang memilih jalur musik. Secara mandiri Adi muda pun mengembangkannya perlahan-lahan salah satunya dengan cara mengikuti lomba menyanyi.
“Saat masih kecil, menyanyi adalah hobinya dan ia mengembangkan bakat ini dengan semangat otodidak. Kesempatan itu ia dapatkan dengan menyanyikan lagu keroncongnya Dendang Gembala dengan berhasil meraih juara kedua lomba menyanyi di pasar malam di Besuki,” tulis surat kabar De Locomotief dalam artikel “Disctotheek-nieuws – Adikarso” terbitan 9 September 1954.
Sebelum "terdampar" di dunia musik, Adikarso sebenarnya berkeinginan menjadi ahli teknik. Sayangnya masalah keuangan keluarga menjadi cobaan. Sempat ia masuk sekolah kejuruan Ambachtsschool di Probolinggo, tapi ujung-ujungnya keluar karena tidak ada uang untuk bayaran.
Adikarso mendapat kesempatan kedua kembali sekolah teknik kala pindah ke rumah pamannya di Madiun. Akan tetapi, ia tidak melangkah menjadi ahli teknik. Insting berseninya justru terpanggil setelah tamat sekolah.
Kegiatan bermusik Adikarso dimulai pada zaman Jepang dengan mengikuti orkes-orkes keroncong. Ketika perang revolusi pecah, ia menjadi anggota band di Surabaya, The Hardy's Boys and A Miss di mana salah satu anggotanya adalah Ahmad Syech Albar yang kelak lebih dikenal dengan nama Bing Slamet.
Tribute untuk Pohon Pepaya Ambruk
Adikarso dan istrinya tidak bergelimang harta. Meskipun hidup pas-pasan atau malah mendekati kekurangan, ia tetap menderma khususnya ke kerabat terdekat. Buktinya ia ikut mengasuh anak yatim piatu buah hati dari pasangan aktor dan aktris, Rachmat Kartolo dan Rukiah yang meninggal dunia pada 1940-an.
Adikarso dan keluarganya terkadang hidup bergantung dari alam sekitar rumahnya. Di muka rumah terutamanya, di mana di situ ada dua pohon pepaya yang tumbuh subur dan bisa menjadi sumber penghidupan. Saat buahnya tumbuh, walau masih muda sekalipun, pastilah Adikarso petik untuk diracik menjadi masakan.
“Karena kami serumah hidup serba kekurangan, maka buah pepaya itulah yang selalu menolong dapur kami. Jelasnya, walaupun masih muda, ya, dipetik untuk dibuat sayur,” kata Adikarso dikutip dari artikel majalah Varia yang ditulis H. Asby dengan judul “Adikarso, Tjiptaannja ‘Papaja Cha-Cha-Cha’ serba kebetulan sadja” edisi 13 April 1960.
Selain buahnya, pohon pepaya itu juga memberikan keteduhan di halaman rumah Adikarso. Penghuni rumah pun senang, sampai suatu ketika hujan deras datang sewaktu siang membawa angin kencang. Pohon pepaya yang difavoritkan itu pun ambruk.
Adikarso merenungi pohon pepaya kesayangannya yang nahas nasibnya. Meratap, sambil mencoret-coret, dan voila! Sebuah lirik berjudul “Papaja Cha Cha” dengan irama cha-cha-cha yang tengah populer.
“Saya lihat pohon pepaya yang sungguh berjasa itu sudah tumbang. Betapa terharu saya sungguh tak terkirakan. Rasa hati sudah seperti kehilangan salah seorang dari keluarga saja. Tergeraklah hati saya untuk membuat corat-coret di atas kertas. Sebuah lagu dengan kata-katanya terlahir,” ucapnya.
Minder Meski Akhirnya Ngehit
Lagu “Papaja Cha Cha” merupakan penghormatan bagi pohon pepaya milik Adikarso yang tumbang itu. Liriknya sederhana, tapi penuh makna. Salah satu yang disisipkan oleh Adikarso adalah soal buah pepaya yang lekat statusnya sebagai makanan ramah di tubuh dan kantong rakyat. Berikut liriknya:
Papaya mangga pisang jambu
Dibawa dari Pasar Minggu
Di sana banyak penjualnya
Di kota banyak pembelinya
Papaya buah yang berguna
Bentuknya sangat sederhana
Rasanya manis tidak kalah
Membikin badan sehat segar
Papaya jeruk jambu
Rambutan duren duku dan lain-lainnya
Marilah mari kawan-kawan semua
Membeli buah buahan
Papaya makanan rakyat
Karena sangat bermanfaat
Harganya juga tak mengikat
Setalen tuan boleh angkat
Ada perasaan minder dalam diri Adikarso soal lagunya yang digubah pada 1957 itu. Ia menilai lagu "Papaja Cha Cha" tak bermutu sehingga takut masyarakat tidak dapat menerimanya.
“Saya hanya menggubahnya untuk kenang-kenangan sendiri. Tak berani saya mempersembahkannya kepada masyarakat,” ucap Adikarso dalam artikel Star Weekly berjudul "Pentjipta 'Papaja Cha Cha Cha' beralih kelagu kanak²" edisi 24 September 1960.
Tak disangka lagu “Papaja Cha Cha” justru berbuah manis karena menjadi lagu hit. Semua kalangan usia terutama anak-anak dengan mudah menghapalnya. Popularitasnya sendiri bermula dari Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta yang tertarik menyiarkan setelah Adikarso menyanyikan lagu tersebut diiringi tabuhan instrumen yang dimainkan anak-anak mendiang Kartolo – Rukiah.
“Konon lagu ‘Papaja Cha Cha Cha’ itu termasuk rekor dalam penjualan,” kata Adikarso kepada Varia.
Setelah “Papaja Cha Cha”, Adikarso semakin rajin menciptakan lagu anak-anak. Lagu-lagu lain yang berhasil ia ciptakan di antaranya ialah “Bangun Pagi” dan “Marilah Tanam Singkong”.
Adikarso sendiri punya rasa keprihatinan terhadap anak-anak Indonesia yang kurang mendapat asupan lagu yang sesuai dengan usianya. Oleh karena itu, ia yakin anak-anak Indonesia bisa dibina ke jalan benar dengan lirik dan irama gembira khususnya dengan mendengarkan lagu yang diciptakan olehnya.
“Pada umumnya kanak-kanak suka menyanyi. Maka jika mereka diberi lagu-lagu dengan kata-kata yang mengandung nasehat – betapapun iramanya – tidak saja berarti hiburan dan pengisi waktu terluang yang baik, melainkan juga lama-kelamaan nasehat-nasehat itu meresap jua ke dalam hati sanubari dan jiwa mereka seperti lagu-lagu asmara, ‘kan lebih baik menyanyikan lagu-lagu sesuai dan bernasehat?” kata Adikarso kepada Star Weekly.
Lagu Selamat Ulang Tahun
Lagu “Papaja Cha Cha” mungkin jarang terdengar sekarang. Ingatan lagu itu barangkali hanya ada di benak para generasi terdahulu saja yang menyanyikannya semasa mereka masih kanak-kanak.
Namun, bagaimana kalau lagu “Selamat Ulang Tahun”? Lagu populer yang biasa dilantunkan saat seseorang sedang merayakan hari lahir itu sepertinya tak lekang zaman. Orang Indonesia tua maupun muda masih sering pula menyanyikannya pada momen bahagia tersebut.
Nah, Adikarso lah pencipta lagu “Selamat Ulang Tahun” yang melegenda itu. Bersama Munif Bahasuan dan diiringi Orkes Melayu Kelana Ria, Adikarso merekam lagu “Selamat Ulang Tahun” ke dalam album musik berjudul “Kafilah” yang didistribusikan Irama Records pada 1961.
Sayangnya tidak begitu banyak arsip maupun artikel lawas yang membahas lagu “Selamat Ulang Tahun”-nya Adikarso, baik soal fakta maupun proses kreatifnya. Akan tetapi, sisi menarik bisa diambil dari sampul album rekaman lagu itu di mana ada kalimat seperti pengharapan bahwa lagu-lagu yang dibawakan Adikarso dkk kelak bisa panjang umur bagi para pendengarnya.
“Mereka berhenti sejenak, membuat musik penghibur hati, kemudian melanjutkan perjalanan lagi, hilang di kaki langit yang jauh. Namun lagu-lagu mereka tetap tinggal terngiang-ngiang, dibawa angin mendayu-dayu,” jelas yang tertulis dalam sampul album “Kafilah” tersebut.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News