cio tao cina benteng jejak tradisi sejak dinasti ming - News | Good News From Indonesia 2025

Cio Tao Cina Benteng, Jejak Tradisi Sejak Dinasti Ming

Cio Tao Cina Benteng, Jejak Tradisi Sejak Dinasti Ming
images info

Cio Tao Cina Benteng menjadi salah satu tradisi yang terus hidup dan mengakar dalam budaya masyarakat Tionghoa di Tangerang. Sebagai ritual pernikahan adat, Cio Tao menyimpan simbol-simbol identitas dan filosofi yang telah diwariskan sejak era Dinasti Ming.

Dengan prosesi yang sarat akan makna, tradisi ini menegaskan keberlanjutan identitas Cina Benteng di tengah arus modernisasi.

Sejarah dan Akar Tradisi Cio Tao Cina Benteng

Cio Tao Cina Benteng merupakan cerminan perjalanan sejarah panjang komunitas Tionghoa di Tangerang. Menurut Rahmawati, Rustamana, dan Fauzan (2024:73), tradisi ini dibawa oleh pelayar Tiongkok yang terdampar di pantai utara pada 1407.

Pelayar tersebut, yang sebagian besar adalah laki-laki, memilih menetap, menikah dengan penduduk lokal, dan membangun komunitas baru.

Jejak sejarah tradisi ini berakar kuat pada masa Dinasti Ming dan berkembang pesat di era Dinasti Qing (1644–1911), terutama di wilayah Minnan, Fujian Selatan. Azzahra (2020:4) menjelaskan bahwa meskipun adat serupa telah memudar di Tiongkok, komunitas Tionghoa perantauan seperti Cina Benteng terus melestarikannya sebagai simbol identitas.

Dalam konteks lokal, adat ini juga berakulturasi dengan budaya masyarakat pribumi. Gunanagara, Pauhrizi, dan Warsana (2023:99) mencatat bahwa masyarakat Tionghoa pertama yang tiba di Tangerang telah berinteraksi dengan Kerajaan Sriwijaya, diperkuat oleh ekspedisi Cheng Ho pada masa Dinasti Ming.

Masyarakat Cina Benteng Penjaga Tradisi Cio Tao

Cina Benteng merupakan kelompok Tionghoa yang telah lama bermukim di Tangerang, mendapatkan nama dari benteng pertahanan Belanda yang ada di dekat permukiman mereka. Syahrial dan Kabul (2023:1919) mencatat bahwa komunitas ini memiliki karakteristik unik yang memadukan warisan leluhur dengan pengaruh lokal.

Ciri khas mereka mencakup penggunaan bahasa lokal seperti Betawi dan Sunda, berbeda dengan stereotip Tionghoa yang biasanya menggunakan Mandarin. Mereka juga memperlihatkan ciri fisik unik, seperti kulit sawo matang dan mata yang lebih besar, akibat perpaduan dengan penduduk lokal.

Adat Cio Tao menjadi salah satu cara komunitas Cina Benteng mempertahankan identitas mereka. Dalam prosesi adat, mereka menggunakan elemen budaya lokal, seperti saweran dan penggunaan kue tradisional khas Tangerang. Gunanagara, Pauhrizi, dan Warsana (2023:101) menambahkan bahwa adat ini memperkuat solidaritas internal komunitas Cina Benteng di tengah modernisasi.

Filosofi dan Prosesi Cio Tao Cina Benteng

Adat Cio Tao Cina Benteng dimulai dengan tahap “jit”, yaitu penyerahan simbolis oleh pihak pengantin pria kepada keluarga pengantin wanita. Tahap ini melibatkan pemberian "uang susu" sebagai penghormatan kepada ibu mempelai wanita. Suratminto (2019:641) mencatat bahwa tahap ini berlangsung secara tertutup.

Pada hari upacara, prosesi diawali dengan penghormatan kepada leluhur di meja “samkai”. Mempelai mengenakan pakaian tradisional dengan warna putih, melambangkan kesucian, dan hijau, simbol kehidupan baru. Tahap berikutnya melibatkan “paijiu”, yaitu upacara minum arak yang menandai penerimaan kedua mempelai oleh keluarga besar.

Makna filosofis mendalam tercermin dari simbolisme setiap tahapan. Misalnya, lilin yang dinyalakan melambangkan harapan dalam menghadapi tantangan rumah tangga (Suratminto, 2019:644). Sementara itu, nyiru bergambar taikek (simbol keseimbangan Yin dan Yang) menegaskan pentingnya harmoni dalam kehidupan pernikahan.

Seni Visual dan Integrasi Budaya dalam Cio Tao Cina Benteng

Keindahan adat Cio Tao Cina Benteng juga terletak pada aspek seni visual dan estetika. Ornamen seperti nyiru bergambar taikek dan penggunaan warna simbolis menunjukkan perpaduan harmoni dan filosofi. Siregar (2017:83) mencatat bahwa kertas merah berbentuk segitiga kecil yang ditempel di dahi mempelai perempuan menjadi simbol kemurnian, menambah estetika ritual ini.

Elemen lain yang tidak kalah menarik adalah musik “Gambang Kromong”, yang mengiringi prosesi. Musik ini merupakan perpaduan alat musik Tionghoa dan gamelan lokal, menjadi simbol integrasi budaya. Suratminto (2019:652) mencatat bahwa Gambang Kromong pertama kali berkembang pada masa Kapitan Cina Nie Hoe Kong dan terus digunakan dalam upacara adat seperti Cio Tao.

Adat Cio Tao Cina Benteng tidak hanya menjadi saksi perjalanan budaya tetapi juga menghadirkan nilai-nilai yang relevan hingga kini. Ritual ini mengajarkan harmoni, komitmen, dan penghormatan terhadap leluhur. Meskipun modernisasi membawa tantangan, komunitas Cina Benteng tetap menjadikan tradisi ini sebagai pilar identitas budaya mereka.

Dengan mempertahankan adat ini, masyarakat Cina Benteng membangun solidaritas komunitas di tengah perkembangan zaman. Ritual ini menjadi pengingat bahwa identitas budaya dapat tetap hidup jika diwariskan dengan rasa bangga dan tanggung jawab.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MS
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.