Di tengah hiruk-pikuk digital yang membuat otak nyaris overload, muncullah satu tren yang vibes-nya beda: junk journaling. Ini bukan sekadar aktivitas tempel-tempel kertas bekas, tapi lebih ke healing method yang nyeleneh tapi ngena. Bayangkan potongan tiket lama, sobekan koran, bungkus permen, bahkan nota belanja disulap jadi karya seni personal. Estetiknya tidak selalu rapi, malah sengaja “berantakan”—tapi justru di situlah letak magisnya.
Tren ini makin ramai dibicarakan, terutama di platform seperti TikTok dan Pinterest. Para pegiatnya menganggap junk journaling sebagai bentuk ekspresi bebas yang anti-struktur, anti-filter, dan anti-pressure.
Untuk sebagian orang, ini jadi pelarian dari dunia yang terlalu tertata dan perfeksionis. Uniknya lagi, nggak butuh skill artistik dewa untuk mulai—asal punya lem, kertas bekas, dan emosi, you’re good to go.
Manfaat Unik Tak Terduga
Pertama dan paling mind-blowing: junkjournaling terbukti bantu proses penyembuhan emosi. Nggak cuma jadi tempat curhat diam-diam, tapi juga jadi sarana refleksi diri yang halus tapi dalam. Menempel hal-hal yang terlihat “sampah” ternyata bisa jadi cara otak menyusun ulang kenangan atau perasaan yang belum sempat dipahami.
Selain itu, aktivitas ini bisa memperkuat ingatan jangka panjang. Ketika kawan menyimpan momen lewat objek fisik—seperti tiket konser atau potongan majalah—otak akan lebih mudah mengasosiasikannya dengan pengalaman nyata. Ini bukan cuma hobi, tapi semacam “arsip visual” hidup versi personal yang nggak akan bisa dikloning siapa pun.
Secara terapeutik, proses ini bekerja seperti bentuk mindfulness, di mana perhatian diarahkan secara penuh pada aktivitas yang sedang dilakukan. Dalam jangka panjang, kegiatan ini dapat membantu mengurangi kecemasan dan memperkuat hubungan seseorang dengan dirinya sendiri. Setiap potongan yang ditempel bukan hanya dekorasi, melainkan bagian dari proses memahami dan menerima emosi.
Junk Journaling Dulu Dianggap Seni Gagal
Meski kini digemari, *junk journaling dulunya sempat dicap sebagai bentuk seni yang “nggak niat”. Di era 90-an, banyak seniman tradisional menganggapnya kurang estetika karena pakai barang bekas dan hasil akhirnya sering terlihat chaotic. Padahal, esensi dari junk journaling justru ada pada kebebasan penuh dan anti-aturan itu sendiri.
Faktanya, beberapa museum seni kontemporer di Eropa kini mulai memasukkan karya junk journal ke dalam koleksi mereka. Ini menunjukkan bahwa seni “berantakan” ini bukan sekadar tren, tapi juga bentuk dokumentasi budaya yang dianggap layak dihargai. Dari yang awalnya dianggap norak, kini naik kasta jadi artefak visual yang otentik.
Dengan berkembangnya komunitas daring dan peningkatan dokumentasi digital, karya-karya junk journaling kini juga mulai dihargai sebagai bentuk arsip sejarah alternatif. Mereka tidak hanya mencatat peristiwa besar, tetapi juga menangkap momen-momen kecil dan pribadi yang mungkin luput dari catatan resmi. Dari sinilah muncul kesadaran bahwa seni tidak selalu harus megah—yang sederhana pun memiliki nilai budaya yang tinggi.
Aktivitas Ini Bisa Mengurangi Impuls Belanja
Tidak banyak yang tahu, tapi junkjournaling bisa secara signifikan mengurangi dorongan belanja impulsif. Karena saat seseorang aktif journaling, otak jadi lebih sibuk menciptakan daripada konsumtif. Lama-lama, kepuasan menempel dan merangkai barang bekas menggantikan sensasi belanja barang baru.
Uniknya lagi, banyak pegiat junk journal melaporkan bahwa mereka jadi lebih sadar lingkungan. Menggunakan ulang kertas, plastik, dan bahan-bahan sisa membuat mereka merasa punya kontribusi kecil pada pengurangan sampah. Aktivitas ini akhirnya jadi semacam gaya hidup yang ramah bumi—tanpa harus mengibarkan bendera green lifestyle setiap hari.
Di sisi lain, junk journaling juga mendorong pemanfaatan ulang barang yang biasanya langsung dibuang, sehingga menumbuhkan pola hidup berkelanjutan. Pelaku menjadi lebih jeli melihat potensi kreatif dari barang sisa, dan pada akhirnya lebih menghargai setiap benda yang mereka gunakan. Inilah awal dari perubahan gaya hidup: bukan hanya lebih hemat, tetapi juga lebih ramah lingkungan.
Kalau kawan penasaran, nggak perlu tunggu momen spesial. Ambil saja barang-barang yang mau dibuang, buka lembar kosong, dan mulai. Karena terkadang, potongan kecil dari hidup yang dianggap remeh justru menyimpan cerita paling jujur.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News