Pada tanggal 21 Mei 1998, dunia menyaksikan salah satu titik balik paling monumental dalam sejarah politik Indonesia. Presiden Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, secara resmi menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan tertinggi di republik ini.
Digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie, peristiwa tersebut menandai runtuhnya Orde Baru dan sekaligus menjadi pintu gerbang menuju era Reformasi. Namun, peristiwa besar ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada gelombang panjang peristiwa politik, ekonomi, dan sosial yang menjadi latar belakangnya.
Latar Belakang Krisis yang Mengguncang
Pada akhir 1997, Indonesia dilanda krisis moneter yang berawal dari Thailand dan menyebar ke seluruh Asia Tenggara. Nilai tukar rupiah terhadap dolar anjlok drastis, dari sekitar Rp2.500 menjadi lebih dari Rp15.000 per dolar hanya dalam hitungan bulan. Harga barang meroket, inflasi tinggi, dan pengangguran massal terjadi akibat PHK besar-besaran.
Kawan GNFI, bayangkan betapa mencekamnya suasana saat itu. Bukan hanya perusahaan-perusahaan swasta yang tumbang, bahkan harga kebutuhan pokok melonjak tajam. Masyarakat menjerit, dan kepercayaan terhadap pemerintahan Soeharto pun runtuh.
Aksi Mahasiswa dan Tekanan Rakyat
Munculnya ketidakpuasan rakyat memicu aksi demonstrasi yang dipelopori oleh mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh Indonesia. Mereka menyerukan tiga tuntutan utama yang dikenal sebagai Tritura Reformasi: turunkan harga, berantas korupsi, dan mundurkan Soeharto.
Salah satu momen paling tragis yang mempercepat kejatuhan rezim terjadi pada 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti. Empat mahasiswa tewas akibat tembakan aparat dalam aksi damai. Tragedi ini memantik kerusuhan besar-besaran di Jakarta dan beberapa kota lainnya pada 13–15 Mei, yang menyebabkan ratusan orang tewas dan ribuan bangunan dibakar.
Soeharto: Dari Tak Tergoyahkan Menjadi Terdesak
Soeharto sempat mencoba bertahan dengan berbagai cara. Ia mengumumkan pembentukan Kabinet Reformasi pada 16 Mei 1998. Namun langkah ini justru memicu kekecewaan lebih besar karena sebagian besar pos kabinet tetap diisi oleh tokoh-tokoh lama yang dianggap bagian dari masalah.
Sejumlah tokoh penting, termasuk para menteri dan anggota Golkar, mulai menarik dukungan mereka. Ketua MPR saat itu, Harmoko, bahkan secara terbuka meminta Soeharto untuk mundur. Ini menjadi sinyal bahwa tekanan sudah tak terbendung lagi.
Momen Pengunduran Diri yang Mengubah Segalanya
Akhirnya, pada pagi hari 21 Mei 1998, tepatnya pukul 09.00 WIB di Istana Merdeka. Presiden Soeharto secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya. Pidato yang dibacakan secara singkat namun bersejarah itu disiarkan langsung ke seluruh Indonesia. Ia menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie, sesuai dengan konstitusi.
Dalam suasana yang sunyi dan menegangkan, Habibie kemudian dilantik menjadi Presiden RI ke-3. Banyak yang menganggapnya sebagai transisi kekuasaan paling mengejutkan dalam sejarah politik Indonesia.
Fakta-Fakta Unik Seputar Peristiwa 21 Mei 1998
- Pidato oleh Yusril Ihza Mahendra
Pidato pengunduran diri Soeharto ditulis oleh Yusril Ihza Mahendra hanya dalam waktu singkat. Menurut Yusril, Soeharto sempat berlatih beberapa kali sebelum akhirnya tampil tenang dan mantap saat membacakannya. - Soeharto Tidak Pernah Dituntut secara Hukum
Meski reformasi menyerukan pengadilan terhadap korupsi dan pelanggaran HAM di masa Orde Baru, Soeharto tidak pernah benar-benar diadili. Ia meninggal dunia pada 2008 tanpa pernah menjalani proses hukum formal. - Habibie Nyaris Tidak Siap
B.J. Habibie mengaku tidak diberi tahu sebelumnya bahwa ia akan langsung dilantik. Ia bahkan masih berada di rumah dinas ketika dipanggil ke Istana. Pelantikan dilakukan tergesa-gesa karena suasana politik sangat genting.
Peran B.J. Habibie dalam Masa Transisi Reformasi
B.J. Habibie memegang tanggung jawab berat sebagai pemimpin transisi. Dalam waktu yang singkat, ia mencabut pembredelan pers, membebaskan tahanan politik, membuka ruang demokrasi, dan mempersiapkan pemilu demokratis tahun 1999.
Habibie juga memperkenalkan otonomi daerah dan mulai menata kembali struktur hukum serta institusi negara. Meski masa jabatannya hanya sekitar 500 hari, banyak reformasi mendasar yang dimulai pada masa pemerintahannya.
Dampak Jangka Panjang Reformasi
Era Reformasi membawa berbagai perubahan signifikan dalam sistem politik dan kehidupan sosial Indonesia:
- Kebebasan Pers dan Berekspresi
Setelah reformasi, media di Indonesia berkembang pesat. Tak ada lagi pembredelan seperti pada masa Orde Baru. Kini, masyarakat bebas menyuarakan pendapat di media massa maupun media sosial. - Pemilihan Presiden Secara Langsung
Jika sebelumnya Presiden dipilih oleh MPR, setelah amandemen UUD 1945, rakyat secara langsung memilih Presiden sejak tahun 2004. - Munculnya Banyak Partai Politik
Dari yang sebelumnya hanya tiga partai, kini Indonesia memiliki sistem multipartai yang lebih terbuka dan dinamis.
Pelajaran Berharga dari 21 Mei
Kawan GNFI, peristiwa 21 Mei 1998 adalah pengingat bahwa kekuasaan yang terlalu lama dan tak terkendali bisa runtuh dalam sekejap jika rakyat bersatu. Ini adalah kisah tentang kekuatan suara mahasiswa, keteguhan rakyat, dan perlunya pemimpin yang bersedia mendengar.
Hingga kini, semangat Reformasi terus diuji oleh dinamika politik dan sosial yang terjadi. Namun sejarah telah menunjukkan bahwa perubahan selalu mungkin terjadi ketika keadilan dan kebenaran diperjuangkan.
Maka dari itu, mari kita kenang 21 Mei bukan hanya sebagai tanggal lengsernya seorang presiden, tetapi sebagai simbol harapan dan titik balik bangsa menuju demokrasi yang lebih sehat.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News