Di tengah dunia yang makin cepat, di mana semua hal dituntut serba instan, generasi Z justru memunculkan tren yang seolah berjalan berlawanan arah yang dikenal dengan istilah slow living.
Dari gaya hidup penuh agenda dan tekanan produktivitas, kini banyak anak muda mulai memilih hidup yang lebih pelan, sadar, dan terhubung dengan nilai-nilai pribadi. Tetapi sebenarnya, apa itu tren slow living dan apakah benar hidup ala Gen Z sekarang sesantai itu?
Baca Juga: Slow Living, Sebuah Seni Hidup Melambat di Era Super Cepat
Apa Itu Slow Living?
Slow living bukan berarti hidup bermalas-malasan. Hal ini adalah pendekatan hidup yang menekankan kesadaran penuh terhadap waktu, momen, dan pilihan yang diambil setiap hari. Dalam prinsip slow living, seseorang lebih memilih kualitas dibanding kuantitas, ketenangan dibanding kecepatan, dan kebermaknaan dibanding pencapaian semu.
Tren ini sebenarnya sudah berkembang sejak lama di negara-negara Eropa seperti Italia dan Denmark, tetapi kini semakin populer di kalangan Gen Z, mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Di Indonesia, tren ini mulai terasa di media sosial lewat konten self-care, produktivitas sehat, dan kehidupan minimalis yang disampaikan dengan estetik, lembut, dan jujur.
Mengapa Gen Z Memilih Melambat?
Gen Z tumbuh di era digital, di mana segala hal bisa dicapai dengan cepat seperti belanja cukup dengan satu klik, pesan makanan tinggal buka aplikasi, dan belajar pun bisa lewat YouTube. Namun, kecepatan ini sering kali datang dengan tekanan seperti tuntutan tampil sempurna, produktif 24/7, dan terus update dengan tren terbaru.
Di sinilah titik baliknya. Banyak Gen Z yang merasa lelah dengan budaya hustle dan FOMO (Fear of Missing Out). Mereka mulai mempertanyakan, "Untuk apa semua ini?" Dari situlah, slow living menjadi alternatif. Gaya hidup ini dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang terlalu menuntut dan seringkali mengabaikan kesehatan mental.
Tanda-Tanda Slow Living di Kalangan Gen Z
1. Mengatur Ulang Prioritas
Gen Z makin sadar bahwa tidak semua hal harus dikejar. Banyak yang mulai memilih pekerjaan yang fleksibel, mengejar freelance atau bisnis kecil-kecilan agar bisa punya waktu untuk diri sendiri. Uang memang penting, tetapi kesehatan mental jadi prioritas.
2. Kembali ke Hal-Hal Sederhana
Mereka mulai menikmati aktivitas seperti merawat tanaman, membuat jurnal, membaca buku fisik, atau hanya duduk sambil minum kopi tanpa tanpa distraksi. Aktivitas ini dianggap sebagai bentuk healing alami.
3. Digital Detox dan Mindful Use
Meski dikenal sebagai generasi digital, Gen Z mulai menerapkan digital minimalism. Ada yang membatasi waitu di media sosial, atau menghapus aplikasi yang bikin stres. Mereka lebih memilih koneksi yang nyata dan dalam, dibanding relasi online yang dangkal.
4. Konten yang Lebih Otentik
Coba cek media sosial, banyak Gen Z yang mulai memproduksi konten yang lebih jujur dan relatable. Mereka membicarakan kelelahan, burnout, overthinking, dan pentingnya berhenti sejenak. Vlog dengan tempo pelan, video "a day in my life" atau journaling routine jadi semakin populer.
Slow living bukan tentang hidup tanpa tujuan, melainkan hidup dengan tujuan yang sadar. Mereka tidak ingin hidup dalam autopilot, sekadar mengikuti arus. Jadi, meski terlihat pelan dan santai, sebenarnya gaya hidup ini membutuhkan refleksi yang mendalam dan komitmen yang kuat.
Tantangan Slow Living di Era Digital
Menerapkan slow living tentu tidak selalu mudah, apalagi di kota besar atau lingkungan yang masih memuja kecepatan dan pencapaian. Tekanan dari keluarga, lingkungan kerja, atau media sosial bisa membuat slow living tampak tidak realistis.
Dikutip dari laman Kreasi Muda Indonesia, tantang Gen Z yang biasanya mengikuti tren event setiap bulan juga menjadi tantangan sendiri. Apalagi di bulan Juni mendatang terdapat banyak perayaan hari besar dengan kemungkinan event juga akan banyak.
Namun, Gen Z punya keunggulan di antaranya mereka adaptif, kritis, dan terbuka terhadap perubahan. Banyak dari mereka yang mencoba menciptakan ruang sendiri, baik secara fisik maupun digital untuk tetap terhubung dengan nilai hidup yang mereka yakini.
Menuju Hidup yang Lebih Seimbang
Tren slow living di kalangan Gen Z bukan sekadar gaya hidup, tetapi bisa dibilang sebagai gerakan sosial. Gerakan yang mengajak orang untuk memperlambat, merenung, dan hidup lebih penuh kesadaran. Ini adalah sinyal bahwa generasi muda ingin lebih dari sekadar "hidup sukses" mereka ingin hidup yang utuh. Jadi, apakah hidup Gen Z sesantai itu?
Mungkin tidak selalu. Tetapi lewat slow living, mereka sedang belajar menciptakan versi hidup yang lebih manusiawi. Versi yang memberi ruang untuk jeda, empati, dan kebahagiaan yang tidak perlu diburu-buru.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News