Di jantung Kalimantan Tengah, terdapat sebuah desa bernama Tumbang Anoi yang menyimpan sejarah penting bagi masyarakat Dayak. Pada tahun 1894, desa ini menjadi tempat berkumpulnya sekitar 1.000 pemimpin dan perwakilan dari 152 suku Dayak yang tersebar di seluruh Pulau Kalimantan, termasuk wilayah Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Mereka datang bukan untuk berperang, melainkan untuk merajut perdamaian abadi.
Rapat Damai Tumbang Anoi yang berlangsung dari 22 Mei hingga 24 Juli 1894 menjadi momen bersejarah yang mengakhiri konflik berkepanjangan antar suku dan menghentikan tradisi mengayau-praktik kuno memenggal kepala manusia.
Kesepakatan ini menandai titik balik peradaban suku Dayak, membuka jalan bagi persatuan, pembangunan, dan kehidupan yang lebih harmonis. Desa kecil ini pun menjadi simbol harapan dan perdamaian bagi seluruh masyarakat Kalimantan.
Keberhasilan Rapat Damai Tumbang Anoi bukan hanya mengubah wajah sosial budaya suku Dayak, tetapi juga menunjukkan kekuatan dialog dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan konflik yang telah berlangsung lama.
Dari pertemuan ini, lahir sebuah semangat baru yang menegaskan bahwa keberanian sejati bukanlah melalui peperangan atau tradisi kekerasan, melainkan melalui persatuan, saling menghormati, dan kerja sama. Warisan perdamaian ini terus dikenang sebagai tonggak penting yang membentuk identitas dan keharmonisan masyarakat Dayak hingga saat ini.
Latar Belakang Tradisi Ngayau
Ngayau adalah istilah yang merujuk pada tradisi memburu kepala manusia di kalangan masyarakat Dayak, seperti suku Iban, kenyah, Kayan dan beberapa sub suku dayak lainnya. Dalam buku Ngayau sebagai Sebuah Novel Berwarna Tempatan: Satu Kajian Sosiologi Sastera karya Asmiaty Amat, dijelaskan bahwa Ngayau awalnya terkait dengan upacara perkawinan, keagamaan, dan nilai kewirausahaan. Tradisi ini menjadi syarat bagi lelaki Iban untuk membuktikan keberanian mereka kepada keluarga calon istri.
Menurut Noria Tugang dalam bukunya Pua Identiti dan Budaya Masyarakat Iban (2014), Ngayau dilakukan oleh orang Iban di masa lalu untuk mempertahankan komunitas mereka dari musuh. Mereka hanya memburu musuh lelaki dewasa, dan hasilnya dibawa pulang.
Rambut dari kepala yang diperoleh akan digunakan sebagai hiasan pada perisai dan pedang, sementara kepala musuh yang berhasil dibawa pulang akan dikeringkan dan digantung di rumah. Beberapa rumah bahkan masih menyimpan tengkorak kepala musuh yang diwariskan sejak zaman nenek moyang.
Membawa pulang kepala musuh dalam tradisi Ngayau dianggap sebagai anugerah yang berharga, melambangkan kehormatan dan keberanian, serta berfungsi sebagai penolak bala. Setelah berhasil, seorang lelaki biasanya akan diberikan gelar ‘Bujang Berani’, yang berarti raja berani atau pahlawan ulung.
Tradisi ini juga meningkatkan status sosial individu dalam masyarakat Dayak Iban, dan mereka berhak menerima penghormatan tertinggi saat ritual adat Gawai atau perayaan lainnya. Meskipun Ngayau sangat identik dengan suku Dayak, tradisi ini kini tidak lagi dipraktikkan. Tradisi ini dianggap telah punah, dan penghentiannya dicatat dalam kesepakatan seluruh etnis Dayak Borneo Raya pada 22 Mei hingga 24 Juli 1894.
Keputusan Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi
Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi menghasilkan sembilan keputusan penting sebagai berikut:
- Menghentikan permusuhan dengan Pemerintah Hindia Belanda.
- Menghentikan perang antar suku dan antar desa.
- Menghentikan praktik balas dendam antar keluarga.
- Menghentikan tradisi mengayau.
- Menghentikan adat perbudakan.
- Pemerintah Belanda mengakui hukum adat Dayak dan memulihkan hak-hak suku Dayak dalam pemerintahan tradisional.
- Penyeragaman hukum adat antar suku.
- Menghentikan kehidupan berpindah-pindah dan menetap di suatu pemukiman.
- Mentaati penyelesaian sengketa yang diputuskan oleh Rapat Adat Besar.
Rapat Damai ditutup pada tanggal 24 Juli 1894 dengan sebuah upacara di depan rumah Damang Batu. Pada 25 Juli 1894, semua kepala suku dan tokoh adat mengucapkan Sumpah Perdamaian untuk mendukung Pemerintah Hindia Belanda dalam mencapai perdamaian dan kesejahteraan masyarakat.
Meskipun ada kepentingan Pemerintah Hindia Belanda dalam keputusan tersebut, hasil Rapat Damai Tumbang Anoi tetap dianggap sangat penting bagi Suku Dayak, karena menandai awal penghentian perselisihan dan permusuhan di antara suku-suku Dayak di seluruh Pulau Kalimantan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News