Cahyo Satria Wijaya adalah pendiri penerbit buku Shira Media. Sosok yang juga menjabat sebagai CEO rumah penerbitan asal Kota Yogyakarta tersebut sudah mewarnai jagat literasi Indonesia sejak 2008.
Sebagai lulusan SMA, Cahyo tidak berkecil hati. Ia tetap memiliki siasat untuk mengejar kesuksesan lewat dunia buku yang dicintainya. Hasilnya ialah Shira Media yang belasan tahun masih eksis dan menjadi salah satu penerbit andalan penulis ternama tanah air.
Sebagai orang yang aktif di industri perbukuan, Cahyo tentu paham fungsi alternatif buku. Selain untuk pembelajaran dan pembuka wawasan, menurutnya buku juga bisa menjadi media kritik yang bagus.
Media Kritik
Ada masanya pembredelan dan razia terhadap buku terjadi di Indonesia. Contohnya pada masa Orde Baru, buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer dilarang beredar karena dianggap mengandung aliran komunisme. Lalu pada masa awal reformasi, buku George Junus yang berjudul Membongkar Gurita Cikeas dicekal karena dianggap menyudutkan keluarga Susilo Bambang Yudhoyono (BSY) yang saat itu menjadi Presiden RI.
Biasanya buku-buku yang mendapat perlakuan seperti itu memang mengandung kritik tajam terutama untuk instansi pemerintah. Sayangnya, alih-alih membuka ruang diskusi, pembungkaman justru sering diberikan kepada penulis.
Cahyo sendiri beranggapan media seperti buku adalah tempat berekspresi sama halnya bermusik atau pun membuat film. Ia menilai tidak sepantasnya kritik dari penulis melalui buku langsung dianggap subversif.
“Seperti film, musik, dan seterusnya aku pikir seharusnya punya ruang leluasa untuk berekspresi,” ucap Cahyo kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Cahyo pun merasa kritik lewat buku adalah wujud kebebasan dan itu bagus karena membuka banyak ruang-ruang diskusi.
“Kayaknya saya pikir hal yang bagus sebenarnya kritik melalui karya seni, melalui buku,” ujar Cahyo.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News