Di zaman sekarang, pola hidup konsuptif sudah menjadi gaya hidup bagi kaum urban. Hidup di kota besar, paparan media sosial tiap hari memicu orang orang untuk tidak sadar membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Terutama anak muda yang seperti magnet bagi diskon dan FOMO.
Masyarakat suburban juga ikut terdampak seiring dengan pesatnya perkembangan e-commerce dan tersedianya fasilitas flexing.
Di satu sisi, arus gaya hidup konsumtif makin menggilas. Namun, di sisi lain, muncul gerakan-gerakan anti-impulsif. Munculnya pelbagai gerakan berupa tantangan atau challenge di sosial media untuk tidak berbelanja secara impulsif justru mendorong banyak elit muda untuk hidup lebih bijak.
Tren Deinfluencing, Tren Mengurangi Sifat Konsumtif
Mengenal Pola Hidup Konsumtif
Pola hidup konsumtif adalah kecenderungan untuk membeli barang atau jasa melebihi kemampuan diri, bukan karena kebutuhan, tetapi untuk terlihat "cukup" atau mengikuti tren. Menurut sosiolog Jean Baudrillard, nilai suatu barang tidak lagi berdasarkan fungsinya. Sebaliknya, barang tersebut menjadi simbol status. Dalam budaya ini, berbelanja berfungsi sebagai cara stratifikasi sosial.
Kebutuhan adalah hal-hal esensial yang harus dipenuhi untuk hidup, seperti makanan, tempat tinggal, dan transportasi dasar. Sementara, keinginan saat membeli gadget terbaru atau pakaian terkini adalah tambahan untuk hidup tetapi tidak diperlukan, sehingga sering kali melahirkan pemborosan.
Definisi di atas adalah esensial sementara kebutuhan sering kali melibatkan emosi atau tekanan sosial. Mengetahui perbedaan ini membantu untuk mengambil keputusan finansial yang bijak.
Salah satu contoh pola hidup konsumtif yang banyak dibahas dan diterima adalah belanja online secara impulsif. Sebagai contoh, saat melihat penjualan kilat atau bahkan promosi terbatas di situs e-commerce, orang cenderung membeli dan menyelesaikan transaksi untuk barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.
Contoh lainnya termasuk tren membeli kopi secara cepat atau mode fad meskipun lemari pakaian mereka sudah penuh. Jika dibiarkan tanpa pengawasan, pola perilaku kecil ini dapat menyebabkan dampak yang signifikan pada situasi keuangan dan kebiasaan belanja kita.
Dampak Gaya Hidup Konsumtif
Gaya hidup konsumtif membawa dampak negatif yang saling berkaitan dan memengaruhi beberapa aspek aktifitas masyarakat. Di bidang ekonomi, perilaku konsumsi yang berlebihan sering kali membuat seseorang mengalami pengeluaran melebihi pendapatan.
Hal tersebut akan berakibat stres secara finansial, penumpukan utang, dan tekanan mental yang disebabkan rasa bersalah dan cemas konstan. Limbah yang dihasilkan oleh masyarakat pun kian memenuhi lingkungan tanpa memberikan dampak positif. Di mana pada titik tertentu akan terjadi krisis sumber daya alam dan penggunaan sumber daya yang tidak berkelanjutan.
Perilaku flexing di media sosial serta FOMO yang sering terjadi pada saat ini merupakan penyebab utama mengapa fenomena ini semakin parah dan tersebar luas.
Hal ini disebabkan karena konsumsi barang tidak berdasarkan kebutuhan, tetapi demi terlihat keren di depan orang-orang sosial dan meningkatkan status diri.
Diperlukan perubahan sikap untuk mencipta gaya hidup lebih bijak dan langsung bertindak dengan memutar kebiasaan tersebut. Terutama berhenti melihat iklan atau gambar yang tidak sehat serta memilih untuk mengonsumsi hal yang relevan guna mendirikan siklus seperti perlu harapan serta memacu untuk aktif bergerak.
Harapan dan Langkah Nyata Menuju Hidup Lebih Bijak
Gerakan Hidup Minimalis dan No Buy Challenge
Gerakan hidup minimalis dan kampanye seperti No Buy Challenge kini menjadi tren yang populer di kalangan anak muda sebagai bentuk perlawanan terhadap gaya hidup konsumtif.
Kampanye ini dilakukan dengan cara membuat daftar barang-barang yang sering dibeli secara berlebihan, padahal sebenarnya tidak dibutuhkan dan hanya terbeli karena ikut tren, viral, atau rasa penasaran semata.
Gaya hidup minimalis mendorong kita untuk hanya membeli dan memiliki barang yang pasti proporsional dengan kebutuhan.
Jadi Lebih Bahagia, Intip 5 Gaya Hidup Minimalis ala Jepang
No Buy Challenge, yang umumnya dilakukan dalam jangka waktu tertentu, seperti satu bulan, setahun, atau selama bulan Ramadan, Natal, dan momen besar lainnya yang rentan memicu belanja impulsif.
No Buy Challenge mengajak partisipan untuk berhenti membeli barang non-esensial. Ini mencakup baju baru, produk skincare atau makeup viral, hingga aksesori yang hanya bersifat keinginan sesaat.
Tujuan utamanya bukan hanya menekan pengeluaran, tetapi juga membangun kesadaran diri terhadap kebiasaan konsumtif yang tidak disadari. Secara keseluruhan, gerakan ini mendorong gaya hidup yang lebih sederhana, sadar, dan berkelanjutan.
Mengenali dan Mengelola Pemicu Konsumtif
Untuk memutus siklus konsumsi, langkah pertama yang penting adalah mendiagnosis pemicu. Banyak perilaku konsumtif merupakan hasil dari dorongan emosional seperti stres, kebosanan, atau dorongan untuk meniru seseorang di media sosial.
Selain itu, diskon besar, iklan yang persuasif, dan kemudahan akses berbelanja online juga mendorong pembelian impulsif. Setelah mengidentifikasi pemicu ini, kita dapat mulai mengelolanya secara sadar. Sebagai contoh dengan menetapkan anggaran, memprioritaskan kebutuhan, memberlakukan periode menunggu sebelum membeli, atau menghindari paparan konten yang mempromosikan gaya hidup konsumtif.
Tujuannya adalah untuk membangun kesadaran diri dalam setiap keputusan belanja, sehingga pengeluaran didasarkan pada kebutuhan yang nyata dan bukan keinginan yang sesaat.
Bangun Pola Pikir Sadar Konsumsi dan Gaya Hidup yang Lebih Sadar
Menghidupkan pola konsumsi yang lebih sadar berarti mengalihkan fokus dari "memiliki lebih banyak" menjadi "menggunakan dengan bijak." Mindful consumption mendorong kita untuk memikirkan dampak setiap pembelian tidak hanya pada dompet kita. Namun, juga pada lingkungan kita, dan pada kesejahteraan kita dalam jangka panjang.
Itu berarti memulai dengan pertanyaan refleksi diri: Apakah saya benar-benar membutuhkan ini? Apakah itu akan menambah nilai atau hanya memberikan kepuasan sesaat?
Industri Wastra Indonesia, Kunci Fesyen Berkelanjutan di Tengah Tren Slow Fashion
Kita perlu menanamkan bahwa "kita bukanlah apa yang kita miliki, tetapi apa yang kita lakukan." Hidup minimalis bukan sekadar estetika yang rapi dan bersih; ini mengajari kita bahwa, cukup adalah cukup.
Dalam kerangka ini, berbelanja bukan lagi pelarian emosional ketika seseorang stres atau bosan, tetapi tindakan tanggung jawab di mana seseorang sadar akan kebutuhan yang sebenarnya.
Jenis konsumsi ini tidak hanya lebih sehat dari perspektif keuangan tetapi juga memperkuat disiplin diri dan menciptakan ruang yang lebih bermakna untuk ditempati.
Pola hidup konsumtif adalah tantangan di era modern ini memang sangat besar, namun bukan berarti tidak ada solusi. Dengan memahami pemicu yang ada, menerapkan hidup minimalis dan bertanggung jawab terhadap konsumsi, kita bisa membawa perubahan ke arah yang lebih bijak dan berkelanjutan.
Menurut Kawan GNFI, langkah kecil apa yang paling mungkin mulai kita coba hari ini?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News