komunikasi pemerintah perlu ditata ulang - News | Good News From Indonesia 2025

Menjawab Tantangan Komunikasi Pemerintah

Menjawab Tantangan Komunikasi Pemerintah
images info

Komunikasi pemerintah tidak lagi bisa dijalankan dengan pendekatan satu arah dan birokratis. Di tengah era digital yang penuh kebisingan, disinformasi, dan tuntutan publik akan transparansi, komunikasi publik harus hadir dengan wajah yang lebih terbuka, responsif, dan manusiawi.

Hal itu disampaikan oleh M. Isra Ramli, Deputi I Kantor Komunikasi Kepresidenan RI, yang menggarisbawahi bahwa derasnya arus disinformasi saat ini telah menempatkan pemerintah dalam situasi rawan. “Ruang komunikasi saat ini sering dibanjiri dengan disinformasi, fitnah, dan kebencian. ‘Serangan’ terhadap pemerintah terus meningkat eskalasinya. Targetnya adalah untuk menurunkan kepercayaan publik kepada pemerintah,” ujar Isra dalam forum Goodtalk Off-Air.

Untuk merespons tantangan ini, Kantor Komunikasi Kepresidenan—yang juga dikenal sebagai PCO—memanfaatkan teknologi untuk membaca perbincangan publik secara real-time.

Isra menekankan bahwa pemerintah tak bisa hanya fokus pada menjawab narasi, tetapi juga perlu aktif menyampaikan capaian nyata. Ia mencontohkan berbagai program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran, seperti Program Makan Bergizi Gratis, pembentukan Bullion Bank, dan rekor produksi beras, yang menurutnya belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat.

Isra juga menyoroti dua indikator penting yang menurutnya menentukan apakah suatu negara bisa bergerak menuju kemajuan. Pertama, ada kepercayaan antara masyarakat dan pemerintah. Kedua, isu-isu yang diperbincangkan publik di ruang digital sudah bergeser dari gosip atau sensasi menuju hal-hal yang lebih substansial—seperti isu lingkungan hidup, pertumbuhan ekonomi, perdamaian dunia, dan inovasi teknologi. Tanpa pergeseran ini, menurutnya, ruang publik akan terus didominasi kebisingan yang menghambat kemajuan kolektif.

Hal senada diungkapkan oleh Florida Andriana, Co-Founder Think Policy, yang menegaskan bahwa komunikasi bukan sekadar pengumuman kebijakan, tetapi bagian dari proses penyusunan kebijakan itu sendiri. Menurutnya, komunikasi yang baik justru dimulai sebelum sebuah kebijakan diluncurkan—yaitu saat pemerintah berupaya memahami apa yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat.

“Memang tidak semua orang bisa senang dengan kebijakan yang dikeluarkan. Ada yang harus direlakan dan diprioritaskan,” katanya. Maka dari itu, proses mendengar aspirasi publik dan mengelola harapan merupakan bagian integral dari komunikasi kebijakan.

Ia juga menambahkan bahwa komunikasi yang efektif tidak hanya menyampaikan hal-hal baik, tapi juga harus terbuka terhadap celah dan ketidaksempurnaan yang terjadi di lapangan. Di sinilah, menurut Florida, komunikasi berperan sebagai jembatan antara realitas dan harapan publik. “Komunikasi adalah seni untuk mengatakan suatu informasi secara benar,” pungkasnya. Baginya, keterbukaan terhadap masukan dan kritik adalah bentuk nyata dari empati dalam merancang dan menjalankan kebijakan publik.

Baca juga Soal Komunikasi Publik, Pakar UNESA: Pemerintah Perlu Lebih Banyak Mendengar Masyarakat

Sementara itu, Molly Prabawaty, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Media Massa Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), menekankan pentingnya kolaborasi dalam menyampaikan pesan-pesan kebijakan. Ia mengakui bahwa jangkauan komunikasi pemerintah masih terbatas jika dilakukan secara tunggal. “Kita bekerja sama dengan media massa karena kalau pemerintah bekerja sendiri, viewers-nya cenderung sedikit,” ungkapnya.

Molly juga menyampaikan bahwa Komdigi tengah mengembangkan strategi menuju visi Indonesia Digital 2045 dengan melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan. Komunikasi publik yang ideal, menurutnya, adalah komunikasi yang mampu menyerap partisipasi dan berdiri di atas kebutuhan nyata publik.

Dari perspektif organisasi, Nia Sarinastiti, Dewan Pakar Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas), menekankan bahwa perbaikan komunikasi publik harus dimulai dari dalam. “Organisasi harus dibenahi dulu dari lingkup internal. Jangan sampai kita keluar dengan narasi yang berbeda. Apabila kondisi internal tidak baik, maka akan terjadi masalah komunikasi,” kata Nia.

Ia menjelaskan bahwa seperti halnya dalam pembentukan tim di organisasi, selalu ada tahapan perkembangan: forming (pembentukan), storming (fase konflik dan pencarian arah), dan norming (pembentukan kesepahaman dan sinergi). Menurutnya, komunikasi pemerintah saat ini masih berada dalam tahap storming, yaitu ketika berbagai pihak yang terlibat masih mencari kesepahaman tentang arah dan tujuan bersama. Pemerintahan adalah organisasi yang besar, pasti sangat kompleks urusannya.

Karena itu, ia mengajak publik untuk lebih sabar dalam menyikapi kontroversi yang muncul di ruang publik. Di sisi lain, Nia menegaskan bahwa pemerintah juga harus secara aktif memperbaiki pola komunikasinya agar lebih terarah, terkoordinasi, dan konsisten dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat.

Goodtalk Off-Air: Ruang Kolaborasi untuk Menjawab Tantangan Komunikasi Pemerintah

Seluruh pernyataan tersebut mengemuka dalam diskusi Goodtalk Off-Air bertajuk “Government PR: Menembus Kebisingan, Menjawab Harapan”, yang diselenggarakan pada 29 April 2025 di Sofyan Hotel Cut Meutia, Jakarta. Forum ini merupakan hasil kolaborasi antara Good News From Indonesia (GNFI) dan Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas).

Kepala Bidang Pengembangan Kampanye Kehumasan Perhumas, Iwan Pranoto, menyebut bahwa forum ini bukan sekadar ruang diskusi, melainkan upaya mendorong semangat kolaborasi lintas sektor dalam menjawab tantangan komunikasi publik di Indonesia. “Tantangan komunikasi pemerintah saat ini tidak hanya dalam menyampaikan informasi, tetapi juga membangun kepercayaan publik,” ujarnya.

Sejalan dengan itu, CEO GNFI Wahyu Aji mengatakan bahwa saat ini, komunikasi publik menghadapi tantangan besar karena arus informasi yang semakin cepat.

“Di situasi yang serba cepat dan riuh seperti sekarang, komunikasi publik, baik yang dilakukan pemerintah maupun organisasi, seringkali belum sempat tuntas tetapi sudah lebih dulu ditanggapi oleh publik. Sebelum informasi selesai disampaikan, sudah keburu dikomentari, diperdebatkan, bahkan dipelintir. Akibatnya, pesan yang utuh sulit sampai secara baik. Ini tantangan besar bagi siapa pun yang bertugas menjelaskan kebijakan atau program,” kata Aji dalam sambutannya di acara tersebut. 

Baca juga Etika Komunikasi di Era Digital: Pandangan Prof. F. Budi Hardiman, Guru Besar Filsafat UPH Jakarta

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Firdarainy Nuril Izzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Firdarainy Nuril Izzah.

FN
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.