Dalam sistem demokrasi, komunikasi antara pemerintah dan masyarakat merupakan fondasi utama yang menopang kepercayaan publik serta efektivitas kebijakan. Dalam perspektif politik, komunikasi bukan sekadar penyampaian informasi satu arah dari pemerintah kepada rakyat, melainkan proses dua arah yang melibatkan pertukaran makna, pendapat, dan harapan.
Ketika komunikasi ini berjalan dengan baik, maka akan tercipta kesepahaman yang kuat antara pengambil kebijakan dan warga negara. Namun sebaliknya, ketika komunikasi tersendat atau tidak empatik, kepercayaan publik bisa runtuh dengan cepat.
Belakangan ini, gaya komunikasi pejabat pemerintah Indonesia menjadi sorotan publik. Salah satu contoh yang menuai kritik luas adalah tanggapan Juru Bicara Istana atas kasus teror terhadap jurnalis Tempo yang dikirimi kepala babi.
Alih-alih memberikan pernyataan serius yang mencerminkan keprihatinan terhadap kebebasan pers, sang juru bicara justru menanggapi dengan kalimat santai, “Sudah, dimasak saja.” Komentar ini dinilai tidak pantas, dan mempertegas persoalan serius dalam pola komunikasi elit pemerintahan saat ini.
Membangun Kesepahaman dalam Komunikasi
Dosen Ilmu Komunikasi Politik Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Gilang Gusti Aji, S.I.P., M.Si., mengungkapkan bahwa masalah utama dalam komunikasi publik pemerintah adalah tidak terhubungnya suara masyarakat dengan respons dari pemerintah.
“Jadi suara masyarakatnya ke mana, tapi komunikasi pemerintahnya ke mana. Jadi tidak nyambung, padahal sebenarnya komunikasi itu basic-nya adalah terbangunnya kesepahaman,” jelas Gilang.
Ia juga menyoroti bahwa komunikasi publik selama ini terlalu terpusat pada Presiden saja, sementara para menteri yang seharusnya bisa memberikan penjelasan teknis justru jarang tampil.
“Misalnya saat membicarakan proyek Danantara, Presiden bicara soal komitmen, tetapi menterinya juga harus muncul menjelaskan detail teknisnya. Hal ini penting dalam membangun pemahaman publik,” tambahnya.
Baca juga Etika Komunikasi di Era Digital: Pandangan Prof. F. Budi Hardiman, Guru Besar Filsafat UPH Jakarta
Pemerintah Perlu Berbenah
Minimnya komunikasi yang jelas dan empatik berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Gilang menyebut bahwa komunikasi menjadi kunci dalam proses pemerintahan dan pembangunan.
“Efeknya baru terasa ketika pendekatan komunikasinya buruk: masyarakat ramai, kepercayaan (trust) turun,” ujarnya.
Menurut Gilang, pendekatan komunikasi pemerintah mengacu pada prinsip Government Public Relations (GPR), yaitu membangun relasi dengan masyarakat melalui penyediaan informasi yang baik dan empatik.
“Semua empati diawali dengan mendengar,” tegasnya. Ia menekankan bahwa komunikasi bukan sekadar mentransmisikan informasi, tetapi membangun kesepahaman. Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk meletakkan masyarakat sebagai pusat dari setiap pesan publik yang disampaikan.
Masyarakat Harus Tetap Kritis
Adapun bagi masyarakat, Gilang menyarankan agar tetap aktif bersuara dan kritis terhadap informasi. “Demokrasi itu berisik. Masyarakat harus tetap lantang bersuara, tapi juga belajar menyeleksi dan memverifikasi informasi untuk menghindari hoaks,” ujarnya.
Kualitas komunikasi publik tidak bisa dipandang remeh. Komunikasi bukan sekadar urusan retorika, tetapi bagian integral dari tata kelola yang baik.
Pemerintah yang mampu mendengar, memahami, dan berbicara dengan empati adalah pemerintah yang mampu menjaga kepercayaan warganya di tengah dinamika sosial dan politik yang terus berkembang.
Baca juga Mengenal Diplomasi Publik, Seni Memikat Dunia Lewat Budaya dan Komunikasi
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News