Di era digital seperti sekarang, viralitas seolah menjadi tolak ukur utama keberhasilan sebuah konten. Setiap hari, jagat maya dibanjiri video, foto, dan opini yang saling berlomba merebut perhatian.
Judul sensasional dan narasi provokatif seringkali lebih disukai algoritma daripada konten yang sarat nilai. Namun, di balik ledakan viral itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah semua yang viral selalu bermakna? Ataukah kita tengah tersesat dalam hutan konten yang bising tapi kosong makna?
Fenomena ini sangat terasa dalam ranah konten budaya. Warisan budaya kita yang kaya, berlapis makna, dan penuh nilai luhur seringkali hanya muncul dalam bentuk potongan-potongan konten yang ditampilkan untuk sekadar hiburan.
Tari tradisional, cerita rakyat, dan ritual adat dikemas sedemikian rupa agar mudah dikonsumsi dan cepat disebarkan, tetapi kadang kehilangan konteks aslinya. Konten semacam ini mungkin viral, tetapi apakah ia masih bermakna?
Budaya adalah cermin jiwa bangsa. Ia tidak hanya hidup dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam nilai, makna, dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Ketika budaya hanya dijadikan komoditas visual, kita kehilangan dimensi terdalamnya.
Konten budaya seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai tontonan, tapi juga sebagai tuntunan mengajarkan kearifan lokal, mempererat identitas, dan menumbuhkan rasa bangga akan jati diri.
Namun, tidak semua konten budaya di dunia maya kehilangan arah. Ada juga kreator konten yang dengan cermat dan cinta mempersembahkan kekayaan budaya Indonesia secara mendalam dan otentik.
Mereka membuat dokumenter pendek tentang kehidupan suku pedalaman, menceritakan filosofi di balik batik, hingga menjelaskan makna di balik upacara adat. Konten-konten semacam ini mungkin tidak secepat itu viral, tetapi perlahan membangun kesadaran dan edukasi budaya di kalangan generasi muda.
Kita, sebagai pengguna internet, memiliki andil besar dalam membentuk arah tren konten budaya. Dengan memilih dan membagikan konten yang tidak hanya menghibur tapi juga mencerahkan, kita sedang ikut serta menjaga warisan budaya. Viral memang menyenangkan, tapi bermakna jauh lebih berharga.
Di sinilah pentingnya jurnalisme positif sebuah pendekatan yang tidak hanya fokus pada sensasi dan konflik, tetapi juga memberi sorotan pada solusi, inspirasi, dan nilai-nilai yang membangun. Dalam konteks budaya, jurnalisme positif dapat menjadi jembatan yang menyambungkan generasi muda dengan akar budaya mereka tanpa menggurui, melainkan menginspirasi.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa dunia maya telah menjadi panggung budaya baru. Tapi panggung ini tidak boleh dibiarkan dipenuhi oleh konten instan dan dangkal. Kita perlu menciptakan ekosistem digital yang mendukung konten bermakna, di mana nilai lebih dihargai daripada sekadar angka view atau like.
Sudah saatnya kita mengganti pertanyaan "Seberapa banyak yang menonton?" menjadi "Apa yang bisa dipelajari dari konten ini?". Perubahan sudut pandang ini akan mendorong kualitas, bukan hanya kuantitas. Akan lahir lebih banyak kreator yang tidak hanya berburu viralitas, tapi juga bertanggung jawab atas isi yang mereka sebarkan.
Pendidikan digital dan literasi media juga menjadi kunci penting. Generasi muda perlu dibekali kemampuan untuk menilai kualitas informasi, mengenali makna di balik konten, dan tidak terjebak pada permukaan semata. Literasi ini akan menjadikan mereka penonton dan kreator yang cerdas sekaligus kritis.
Apresiasi terhadap konten berkualitas pun harus ditumbuhkan. Pujian, dukungan, dan penyebaran terhadap karya-karya budaya yang mendalam harus menjadi kebiasaan. Dengan begitu, kita ikut menciptakan insentif bagi para kreator untuk terus berkarya dengan hati dan nilai.
Budaya bukan barang dagangan. Ia adalah napas sejarah, denyut kehidupan, dan cahaya identitas. Maka, perlakukanlah konten budaya di dunia maya dengan kesungguhan dan rasa hormat yang sepatutnya. Jangan biarkan ia sekadar menjadi alat hiburan, tapi jadikan sebagai alat perubahan.
Menjadi viral memang menggoda, tapi menjadi bermakna adalah investasi jangka panjang bagi bangsa. Mari kita pilih untuk mendukung konten yang membangun, bukan yang merusak. Konten yang menginspirasi, bukan hanya mengundang tawa sesaat.
Akhirnya, dunia maya bukanlah musuh budaya. Ia justru bisa menjadi sekutu yang kuat jika digunakan dengan bijak. Maka mari bersama-sama merancang masa depan digital yang tidak hanya cepat dan ramai, tapi juga bijak dan bermakna.
Karena budaya yang lestari tidak hanya hidup di museum, tapi juga dalam pikiran dan tindakan kita di dunia nyata maupun maya. Bagaimana menurutmu kita mau jadi bangsa yang viral, atau bangsa yang bermakna?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News