refleksi hari buku sedunia ai dirayakan buku dilupakan - News | Good News From Indonesia 2025

Refleksi Hari Buku Sedunia: AI Dirayakan, Buku (Jangan Sampai) Dilupakan

Refleksi Hari Buku Sedunia: AI Dirayakan, Buku (Jangan Sampai) Dilupakan
images info

Ada unggahan video yang menarik ketika Wakil Presiden Gibran menyampaikan bonus demografi. Di saat yang sama, ia juga mengampanyekan pentingnya penguasaan kecerdasan buatan (AI) bagi anak muda Indonesia.

Bahkan di berbagai forum, wapres menyampaikan bahwa masa depan bangsa sangat bergantung pada kemampuan generasi baru dalam menguasai teknologi mutakhir. Anak SD pun diajari cara bikin PR pakai AI.

“Kalian tinggal masukkan soal, keluar jawaban. Simpel,” Begitu katanya.

Di satu sisi, wacana ini terdengar menggugah. Kita didorong untuk menjadi pemain global, kreatif, adaptif, dan cerdas memahami algoritma. Namun, di sisi lain, tampaknya kita begitu semangat mengejar digitalisasi sampai-sampai abai pada buku, warisan intelektual yang menjadi fondasi peradaban.

Pembajak Buku Masih Bebas

Di tengah gegap gempita kampanye AI, Hari Buku Sedunia tiba dengan senyap. Tanpa perayaan berarti, tanpa refleksi mendalam dari pemangku kebijakan.

Padahal, tak ada teknologi secanggih apa pun yang bisa benar-benar menggantikan kemampuan manusia untuk berpikir mendalam, apalagi mencapai wisdom.

Hari ini, buku masih dibajak. Royalti penulis masih dipangkas. Pengetahuan yang bersumber dari riset serta pengalaman panjang justru dengan mudah tergantikan oleh konten viral dari influencer dadakan.

Rayakan Hari Buku Sedunia, Berikut Sederet Rekomendasi Buku yang Cocok untuk Gen-Z!

Di banyak platform e-commerce, buku bajakan dijual bebas, bahkan terbilang sangat murah. Kita bisa melihat harga-harga buku di bawah dua puluh ribu, bahkan lima ribu. Apakah tidak terpikir perjuangan seorang penulis ketika membuat sebuah buku?

Buku bukan sekadar teks. Ia adalah hasil kerja panjang yang melibatkan riset, imajinasi, pengorbanan waktu, dan sering kali penderitaan. Ketika buku itu dibajak dan diperjualbelikan tanpa seizin penciptanya, maka kerja intelektual direduksi menjadi sekadar komoditas ilegal.

Bukan hanya penulis yang menangis, tetapi juga para pekerja di penerbitan, toko buku, serta semua pihak dari hulu ke hilir.

Masalah tidak berhenti di sana. Penulis buku di Indonesia kerap menerima royalti yang sangat kecil. Umumnya hanya berkisar 8 hingga 12 persen dari harga jual buku, dan itu pun hanya jika bukunya laku di pasaran.

Sayangnya, kebijakan yang ada untuk melindungi penulis dan royalti belum begitu digalakkan lagi.

Banyak penulis yang berkarya bukan demi popularitas atau kekayaan. Mereka hanya sadar bahwa gagasan penting untuk diwariskan. Namun, sistem tidak berpihak kepada mereka. Ketika karya mereka dibajak atau diabaikan, mereka nyaris tidak memiliki perlindungan.

Di saat yang sama, muncul gejala baru yang tak kalah memprihatinkan. Karya tulis para pakar yang lahir dari pengalaman dan pendidikan panjang kini mulai disisihkan oleh buku-buku instan yang ditulis oleh figur publik atau influencer. Buku-buku ini, juga bisa dengan mudah ditulis menggunakan AI.

Menulis karena baru viral. Popularitas menggantikan kualitas. Buku berubah fungsi, dari ruang dialog gagasan menjadi sekadar objek jualan.

Indonesia Pernah Hebat karena Buku

Tentu, semua orang berhak menulis buku. Demokrasi memberi ruang bagi siapa saja untuk berkarya. Namun, ketika pasar lebih percaya pada yang populer ketimbang yang ahli, maka literasi kita kehilangan akarnya.

Kita tidak lagi membangun nalar kritis, tetapi sibuk mengonsumsi kesimpulan-kesimpulan singkat yang tidak memberi ruang berpikir.

Padahal sejarah bangsa ini justru dibentuk oleh mereka yang setia pada buku. Para pendiri bangsa adalah pembaca dan penulis ulung. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Kartini, Ki Hajar Dewantara—semuanya mengandalkan kekuatan pena dalam membangun kesadaran rakyat.

Mereka menulis esai, surat, bahkan buku yang menjadi bahan bakar perjuangan kemerdekaan. Mereka meyakini bahwa pikiran yang ditulis bisa mengubah dunia. Memang terbukti, Indonesia lahir dari pemikiran.

Kini, semangat itu meredup. Kita menjadi bangsa yang kurang membaca, tetapi cepat percaya. Kita bangga berbicara soal teknologi canggih, tetapi tidak punya pondasi budaya baca yang kuat. Hari Buku Sedunia seharusnya menjadi waktu untuk merenung, bukan sekadar dijadikan unggahan Instagram atau acara simbolis di perpustakaan.

Rekomendasi Jenis Buku Fiksi Thriller untuk Mengisi Hari Libur

Kita harus mulai menata ulang prioritas. Teknologi tidak akan berarti apa-apa jika masyarakatnya tidak membaca. Buku adalah rumah bagi pikiran yang runtut. Jika kita mengabaikannya, maka kita mengabaikan kesempatan untuk menjadi bangsa yang benar-benar berdaulat dalam pikiran.

Teknologi boleh kita rayakan. Namun, buku tidak boleh kita lupakan. Karena dari sanalah seluruh peradaban bermula, dan juga akan kembali.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.